Ventmore menuturkan, yang diperlukan adalah peningkatan kemampuan Indonesia sendiri untuk melindungi dan menegakkan hukum di wilayah lautnya, termasuk memperkuat Penjaga Pantai Indonesia yang masih bermasalah. Di luar negeri, unsur sipil bersifat paramiliter ini akrab dikenal dengan nama Coast Guard.
Di sisi lain, lanjut Ventmore, penegakan hukum di Indonesia juga masih lemah. Belum lagi, birokrasi pemberian perizinan atau lisensi kapal yang masuk ke perairan Indonesia.
"Kadang-kadang persoalannya di kita juga, apakah administrasinya, apakah izinnya sudah habis atau dipindah ke kapal lainnya. Ini juga pekerjaan rumah buat Indonesia. Meski saya kira pemerintah Jokowi-JK sudah mencoba mengurus masalah perbaikan administrasi seperti itu," katanya.
Dalam kesempatan sama, Direktur Eksekutif National Maritime Institute, Siswanto Rusdi, menilai proses hukum dalam kebijakan penenggelaman kapal nelayan ilegal itu tidak transparan.
"Kapal itu merupakan teritorial atau negara yang bergerak sehingga seharusnya ketika kita memproses atau menangkap kapal itu kita harus transparan dalam proses hukumnya," katanya.
Rusdi menuturkan, pemberantasan penangkapan ikan liar (dari kapal-kapal mancanegara) ini tidak bisa dilakukan sendiri oleh Indonesia.
"Kita harus melakukan prosedur hukum yang ketat, karena melibatkan negara bendera yang harus dihormati kedaulatannya. Dan inilah mungkin yang ingin disampaikan China, Taiwan, Malaysia atau Thailand bahwa (Indonesia) harus melakukan proses hukum," katanya.
Ia menambahkan, karena harganya yang mahal, sebaiknya ada jalan keluar terbaik dalam memerangi pemberantasan kapal ikan ilegal itu, dan bukannya dengan cara penenggelaman.
"Sebaiknya cari jalan keluar, entah denda atau apa, jangan dibom. Bayangkan kalau kapal kita yang tonasenya besar itu diledakkan, kita juga mungkin akan tersinggung," ujarnya.