Pengamat : Maritim perlu penguatan diplomasi baru
28 Maret 2016 17:59 WIB
Peta Laut China Selatan dalam prespektif geopolitik saat ini. China mengklaim hampir semua wilayah Laut China Selatan dan perairan internasional ini berbatasan langsung dengan Kepulauan Natuna dan perairan zone eksklusif ekonomi Indonesia di perairan Kepulauan Natuna itu. (www.southchinasea.org)
Jakarta (ANTARA News) - Pengamat internasional dari PAR Indonesia, Guspiabri Sumowigeno mengatakan maritim perlu penguatan diplomasi baru yaitu dengan membentuk desain diplomasi di Laut Tiongkok Selatan (LTS) yang menekankan pada instrumen dan konsep baru.
"Secara instrumental kegiatan diplomasi maritim memerlukan penguatan. Mengangkat Utusan Khusus Presiden/Duta Besar Keliling Urusan Maritim adalah solusi," katanya menanggapi insiden yang terjadi di perairan Natuna yang melibatkan "coastguard" Tiongkok dan kapal berbendera Tiongkok KM Kway Fey 10078, di Jakarta, Senin.
Ia mengatakan pos baru ini vital untuk mewujudkan visi Presiden Jokowi menjadikan Indonesia poros maritim dunia. Figur seperti Laksamana (Purn) Tedjo Edhi, mantan KSAL dan Menkopolhukam layak dipertimbangkan.
Secara konsep, lanjutnya Indonesia perlu mengantisipasi bahwa suatu saat dimasa depan, pulau-pulau di LTS akan menjadi milik yang sah dari negara lain. Karena besar kemungkinan Tiongkok yang akan dominan di sana.
Untuk itu Indonesia perlu memiliki pendekatan langsung dan mengirimkan pesan bahwa Indonesia siap untuk ko-eksistensi damai dengan negara manapun di LTS, termasuk Tiongkok seandainya klaim Tiongkok pada akhirnya memperoleh pengakuan hukum dan komunitas internasional.
"Langkah ini akan meyakinkan Tiongkok bahwa friksi lebih lanjut dengan Indonesia akan menjauhkan dirinya dari tujuan meraih dukungan internasional di LTS," ujarnya.
Dikatakannya Indonesia dan Tiongkok bersama ASEAN Regional Forum bisa meluncurkan inisiatif menyelenggarakan konvensi untuk membentuk rezim maritim baru yang berkonteks kawasan untuk ditawarkan pada komunitas internasional.
Berupa Rezim Alur Laut Kepulauan Asia Tenggara (South East Asia Regime on Sea Line of Communication/SEARSLOC). SEARSLOC mengatur lalu lintas maritim internasional di laut wilayah kedaulatan Indonesia dan kawasan Asia Tenggara, termasuk LTS.
Lebih lanjut ia mengatakan sejatinya merupakan ekstensi model Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) ke kawasan perairan Asia Tenggara di utara Indonesia yang melingkupi kepulauan Filipina dan Laut Tiongkok Selatan hingga wilayah laut antara Filipina dan ujung selatan daratan Tiongkok di Pulau Hainan.
Guspiabri mengatakan terciptanya SEARLOC akan langsung berimplikasi terjaminnya kedaulatan RI di wilayah laut nusantara berdasarkan ketentuan UNCLOS, yang faktanya masih diabaikan oleh AS.
Dengan SEARLOC, kepentingan AS untuk kebebasan pelayaran dan navigasi di LTS bisa diakomodasi, tetapi tidak frontal menghalangi upaya Tiongkok dan negara kawasan lainnya yang berproses secara damai dalam meraih pengakuan hukum dan komunitas internasional atas wilayah yang dikuasainya di LTS.
"Kepentingan ekonomi internasional juga bisa lebih dijamin dengan hadirnya SEARSLOC," demikian Guspiabri.
"Secara instrumental kegiatan diplomasi maritim memerlukan penguatan. Mengangkat Utusan Khusus Presiden/Duta Besar Keliling Urusan Maritim adalah solusi," katanya menanggapi insiden yang terjadi di perairan Natuna yang melibatkan "coastguard" Tiongkok dan kapal berbendera Tiongkok KM Kway Fey 10078, di Jakarta, Senin.
Ia mengatakan pos baru ini vital untuk mewujudkan visi Presiden Jokowi menjadikan Indonesia poros maritim dunia. Figur seperti Laksamana (Purn) Tedjo Edhi, mantan KSAL dan Menkopolhukam layak dipertimbangkan.
Secara konsep, lanjutnya Indonesia perlu mengantisipasi bahwa suatu saat dimasa depan, pulau-pulau di LTS akan menjadi milik yang sah dari negara lain. Karena besar kemungkinan Tiongkok yang akan dominan di sana.
Untuk itu Indonesia perlu memiliki pendekatan langsung dan mengirimkan pesan bahwa Indonesia siap untuk ko-eksistensi damai dengan negara manapun di LTS, termasuk Tiongkok seandainya klaim Tiongkok pada akhirnya memperoleh pengakuan hukum dan komunitas internasional.
"Langkah ini akan meyakinkan Tiongkok bahwa friksi lebih lanjut dengan Indonesia akan menjauhkan dirinya dari tujuan meraih dukungan internasional di LTS," ujarnya.
Dikatakannya Indonesia dan Tiongkok bersama ASEAN Regional Forum bisa meluncurkan inisiatif menyelenggarakan konvensi untuk membentuk rezim maritim baru yang berkonteks kawasan untuk ditawarkan pada komunitas internasional.
Berupa Rezim Alur Laut Kepulauan Asia Tenggara (South East Asia Regime on Sea Line of Communication/SEARSLOC). SEARSLOC mengatur lalu lintas maritim internasional di laut wilayah kedaulatan Indonesia dan kawasan Asia Tenggara, termasuk LTS.
Lebih lanjut ia mengatakan sejatinya merupakan ekstensi model Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) ke kawasan perairan Asia Tenggara di utara Indonesia yang melingkupi kepulauan Filipina dan Laut Tiongkok Selatan hingga wilayah laut antara Filipina dan ujung selatan daratan Tiongkok di Pulau Hainan.
Guspiabri mengatakan terciptanya SEARLOC akan langsung berimplikasi terjaminnya kedaulatan RI di wilayah laut nusantara berdasarkan ketentuan UNCLOS, yang faktanya masih diabaikan oleh AS.
Dengan SEARLOC, kepentingan AS untuk kebebasan pelayaran dan navigasi di LTS bisa diakomodasi, tetapi tidak frontal menghalangi upaya Tiongkok dan negara kawasan lainnya yang berproses secara damai dalam meraih pengakuan hukum dan komunitas internasional atas wilayah yang dikuasainya di LTS.
"Kepentingan ekonomi internasional juga bisa lebih dijamin dengan hadirnya SEARSLOC," demikian Guspiabri.
Pewarta: Feru Lantara
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2016
Tags: