Jakarta (ANTARA News) - Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menyatakan bahwa rencana Prancis untuk menerapkan pajak tambahan atas minyak sawit sebesar 90 Euro per ton, hanya akan memberikan sedikit dampak terhadap ekspor Indonesia namun hal tersebut merupakan bentuk diskriminasi.

"Dampak langsung terhadap ekspor tidak besar, akan tetapi ribut dengan Prancis ini akan mempengaruhi negara yang lain. Bagi kami pengenaan tax berapapun besarannya terhadap palm oil merupakan diskriminasi," kata Ketua Umum Gapki, Joko Supriyono, saat melakukan kunjungan ke Kantor Berita Antara di Jakarta, Kamis.

Joko mengatakan, rencana Prancis untuk menarik pungutan tersebut khusus bagi minyak sawit yang tidak memenuhi kriteria kelestarian lingkungan. Namun, menurut Joko ,definisi terkait dengan kriteria kelestarian lingkungan tersebut masih belum jelas.

"Lagi-lagi, non-sustainable itu tidak jelas maksudnya apa. Sebenarnya jika kita lihat regulasi Indonesia itu sudah masuk dalam kriteria kelestarian lingkungan. Jika perusahaan Indonesia sudah mengikuti aturan tersebut maka sudah memenuhi kriteria kelestarian lingkungan," kata Joko.

Selain itu, lanjut Joko, negara lain seperti Rusia juga berencana untuk menetapkan "Import Tax" minyak sawit sebesar 200 dolar Amerika Serikat per ton.

"Isunya seperti itu, sekarang kita sedang komunikasikan dengan pihak Rusia," kata Joko.

Parlemen Prancis menyetujui pengenaan pajak tambahan atas minyak sawit yang digunakan dalam makanan mulai tahun 2017 mendatang. Tambahan pungutan tersebut bertujuan untuk merefleksikan potensi kerusakan lingkungan oleh perkebunan kelapa sawit dan pajak yang disepakati adalah sebesar 90 Euro atau 102 dolar AS per ton.

Bahkan sebelumnya, pada Undang-Undang Keanekaragaman Hayati yang akan berlaku di awal 2017 tersebut, pemerintah Prancis akan mengenakan pajak atas minyak kelapa sawit dan turunannya sebesar 300 Euro per ton pada 2017. Selanjutnya, pajak tersebut naik menjadi 500 Euro per ton pada 2018, meningkat kembali menjadi 700 Euro per ton pada 2019, dan menjadi 900 Euro per ton pada 2020.

Langkah Prancis tersebut sudah mendapatkan protes dari Indonesia selaku produsen terbesar untuk kelapa sawit. Pemerintah menyatakan bahwa pajak minyak kelapa sawit yang diatur dalam Amandemen No.367 dan diadopsi oleh Majelis Tinggi Legislatif Perancis dianggap melanggar prinsip-prinsip World Trade Organization (WTO) dan General Agreement on Tariff and Trade (GATT) Tahun 1994.

Pajak minyak kelapa sawit yang diatur dalam Amandemen No.367 dan diadopsi oleh Majelis Tinggi Legislatif Perancis pada 21 Januari 2016 tersebut, ditengarai akan melanggar prinsip perlakuan nasional dan nondiskriminasi WTO dan GATT Tahun 1994.