Jakarta (ANTARA News) - Kontroversi transportasi antarangkutan umum pada saat ini pernah terjadi pada tahun 1971, kata Sekretaris Jenderal Jaringan Kemandirian Nasional, Priyo Pamungkas Kustiadi.

"Pada tahun 1971 fenomena taksi plat hitam hits pada saat itu. Gubernur Ali Sadikin kemudian membuat aturan taksi harus miliki badan hukum," catatnya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat.

Saat itu, menurut dia, aturan tentang perusahaan taksi minimal 100 kendaraan, maka hanya pengusaha dari perusahaan besar saja yang mampu mendapat pinjaman dari pihak perbankan.

Kemudian, dikemukakannya, sejumlah taksi tanpa izin, yang dikenal dengan sebutan "taksi bodong, akhirnya membentuk koperasi dan tahun 1972 terbentuk Koperasi Taksi sebagai pelopor koperasi taksi pertama.

"Persis kejadiannya dengan booming Grab dan Uber sekarang," katanya.

Permasalahan saat ini, menurut Priyo, berujung di regulasi, khususnya terkait Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Ia mengingatkan, solusi membentuk koperasi sudah dilakukan oleh pelaku usaha transportasi berbasis aplikasi, dan untuk transportasi sepeda motor bisa saja dengan kebijakan bersama membuat tanda khusus di sepeda motor dan diperbolehkan untuk ojek.

Ada usul bahwa pekerja angkutan umum disertifikasi layaknya tenaga kerja Indonesia (TKI) oleh Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNPTKI).

"Semisal dengan stiker sebagai bea pajak bisnis transportasi, atau kartu khusus ojek. Sama halnya dengan TKI yang miliki sertifikasi dari balai kerja BNPTKI. Nah resmi toh," catatnya.

Ia juga mengingatkan, agar perusahaan taksi besar juga mawas diri, intropeksi atas pelayanan yang dibuat karena perkembangan perdagangan secara elektronik (e-commerce) meningkat.

Namun, dikemukakannya pula, sisi hukumnya masih lemah tanpa disadari ketika pengguna transportasi dalam jaringan (daring) Internet mendaftarkan nama, email, nomor telepon, alamat jemput, tujuan dan kartu kredit.