Den Haag (ANTARA News) - Hakim pengadilan PBB, Kamis, mulai membacakan vonis dalam sidang genosida mantan pemimpin Serbia Bosnia Radovan Karadzic atas pembantaian Srebrenica pada 1995, yang merupakan kekejaman terburuk di Eropa sejak Perang Dunia Kedua.

Karadzic menjadi tokoh paling tinggi yang diajukan ke pengadilan PBB di Den Haag terkait perang dua dekade lalu, yang menewaskan 100 ribu orang, di mana tentara musuh memecah Bosnia berdasar suku yang kebanyakan masih hidup hingga saat ini.

Diantara dakwaan utama adalah bahwa Karadzic, yang ditangkap pada 2008 setelah diburu selama 11 tahun, mengendalikan pasukan Serbia yang membantai 8 ribu pria dan anak-anak lelaki Muslim di Srebrenica pada 1995, setelah menyerbu "kawasan aman" PBB.

Karadzic, yang pernah memimpin Republik Bosnia Serbia dan Komandan Tertinggi angkatan bersenjatanya, mengatakan dalam sebuah wawancara menjelang vonis bahwa ia bekerja untuk menegakkan perdamaian dan layak mendapat pujian, bukan hukuman.

"Perjuangan tetap saya untuk menegakkan perdamaian, mencegah perang dam mengurangi penderitaan siapapun, tak peduli apa agamanya, adalah contoh upaya yang layak mendapat penghargaan daripada hukuman," katanya kepada portal berita Balkan Insight.

Mantan psikiater berusia 70 tahun yang masih dalam kondisi sehat itu, didakwa dengan dua dakwaan genosida, satu untuk Srebrenica dan satunya lagi untuk kampanye pembersihan Muslim Bosnia dan Kroasia dari dua kota di sekitar negara tersebut.

Ia terancam hukuman seumur hidup untuk dakwaan-dakwaan tersebut dan sembilan dakwaan lain untuk kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan.

Ia diperkirakan akan melakukan upaya banding yang bisa memakan waktu beberapa tahun, apapun vonisnya.

Perdana Menteri Serbia Aleksandar Vucic mengatakan ia akan membela warga Serbia Bosnia.

"Kami akan membela rakyat kami dan akan melindungi keberadaan serta hak mereka untuk memiliki negara sendiri," katanya.



Penyintas tunggu vonis

Satu-satunya pejabat lebih senior yang menghadapi Pengadilan Kejahatan Internasional untuk bekas Yugoslavia (ICTY) adalah mendiang Presiden Serbia Slobodan Milosevic, yang meninggal dalam tahanan satu dasawarsa lalu sebelum vonis dijatuhkan.

Ratko Mladic, jendral yang memerintahkan pasukan Serbia Bosnia merupakan tersangka terakhir yang ditahan atas pembantaian Srebrenica dan juga berada dalam sel PBB menunggu sidang.

"Keadilan berjalan lambat namun ia datang, jadi kami harap kali ini pengadilan mempunyai keberanian cukup untuk mengatakan apa yang sebenarnya terjadi, karena mereka hanya membutuhkan keberanian. Fakta-faktanya mereka sudah ada," kata Sakib Ahmetovic, seorang warga Muslim Bosnia yang selamat dalam perang itu.

Munira Subasic, yang anak lelakinya menjadi salah satu korban Srebrenica mengatakan "vonis itu sangat penting untuk menunjukkan kepada generasi muda, terutama mereka di Serbia, siap yang diracun dengan kebencian, apa yang sesungguhnya terjadi di Bosnia."

Pembantaian Srebrenica dan pengepungan ibukota Bosnia, Sarajevo selama bertahun-tahun oleh Serbia, dimana Karadzic juga didakwa atas kesalahan ini, adalah peristiwa yang mengubah pendapat dunia mengenai Serbia dan memicu serangan udara NATO yang membantu mengakhiri perang itu.

Karadzic membela diri dalam sidang selama 497 hari dan memanggil 248 saksi, menyerahkan jutaan lembar bukti-bukti dengan bantuan seorang penasihat hukum yang ditunjuk pengadilan.

Jaksa mengatakan ia bersekongkol untuk membersihkan Bosnia dari populasi non-Serbia.

Karadzic menolak dakwaan itu dan berusaha menggambarkan dirinya sebagai pembela Serbia, dan menuding pengepungan dan penembakan terhadap Muslim Bosnia itu dilakukan oleh mereka sendiri.

Ia mengatakan tentara dan warga sipil yang melakukan kejahatan selama perang itu bertindak secara individual.

Penghakiman masih terpecah

Para penentang ICTY mengatakan jaksa menyasar Serbia secara tidak proporsional karena 94 dari 161 tersangka yang didakwa berasal dari pihak Serbia, sementara 29 dari Kroasia dan sembilan dari Muslim Bosnia.

Jaksa dikritik karena tidak memberikan dakwaan terhadap dua pemimpin lain di era tersebut yang sudah meninggal - yaitu Presiden Kroasia Franjo Tudjman dan Presiden Bosnia Alija
Izetbegovic.

"Jika anda ada tuntutan terhadap ketiganya (termasuk Milosevic), anda akan benar-benar mendapatkan gambaran bagus terjadinya kekerasan, namun kita tidak mendapatkannya," kata Eric Gordy, pakar pengadilan tersebut dari University College London.

ICTY yang dibentuk pada 1991 setelah pecahnya Yugoslavia dimaksudkan untuk mencegah kejahatan perang di masa depan dan mempromosikan rekonsiliasi, namun penghakimannya masih terpecah belah.

Banyak warga Serbia, baik di Bosnia maupun Serbia, yang menilai pengadilan tersebut sebagai instrumen pro-Barat, mengatakan Karadzic tidak bersalah dan yakin bahwa vonis terhadapnya tidak adil bagi seluruh warga Serbia.

Keyakinan mereka tersebut diperkuat oleh fakta bahwa vonis dijatuhkan bersamaan dengan peringatan pengeboman Serbia oleh NATO pada 1999 yang mengarah pada kemerdekaan provinsi Kosovo yang berpenduduk mayoritas suku Albania.

Jaksa pada pengadilan tersebut, Serge Brammertz khawatir jika kerja pengadilan yang semakin melambat tidak banyak berbuat untuk mengobat luka perang yang dalam.

"Saya tidak yakin semua orang benar-benar paham kesalahan dari masa lalu," katanya.

"Banyak orang di semua negara bekas Yugoslavia masih menggunakan retorika yang masih lebih dekat dengan apa yang kami dengar di pengadilan daripada yang kami harapkan," kata Brammertz dilaporkan Reuters.

(S022/G003)