Panja DPR minta pemerintah evaluasi rafinasi "bodong"
22 Maret 2016 20:48 WIB
ilustrasi -Penyidik dari Badan Pengawas Gula Indonesia Departemen Perindustrian dan Perdagangan berjalan di dekat tumpukan gula rafinasi saat melakukan penggeledahan di salah satu Gudang pada foto 4 November 2012. (FOTO ANTARA/Yusran Uccang)
Jakarta (ANTARA News) - Wakil Ketua Panitia Kerja (Panja) Gula DPR Abdul Wahid meminta pemerintah mengevaluasi keberadaan sembilan dari 11 industri gula rafinasi yang izin operasionalnya sudah habis alias "bodong" namun terus beroperasi, bahkan mengabaikan ketentuan-ketentuan investasi.
"Harusnya pemerintah menghentikan operasional industri gula rafinasi bodong tersebut. Lebih-lebih, berdasarkan laporan Badan Koordinasi Penanaman Modal, sembilan industri gula rafinasi tersebut sudah tidak memperpanjang izin operasionalnya," katanya kepada pers di Jakarta, Selasa.
Menurut Wahid, keterangan tersebut dikemukakannya di hadapan Dewan Pembina dan DPP Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) serta Direksi PT Perkebunan Nusantara (PTPN) XI, PTPN X, PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI), dan PT Kebon Agung selaku mitra strategis petani tebu di Surabaya pada 21 Maret 2016.
Pada kesempatan itu hadir pula utusan DPD APTRI dari Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulsel, dan Lampung, serta DPD APTRI di lingkungan PTPN XI, PTPN X, dan PT RNI.
Menurut anggota Komisi VI DPR RI itu, pembangunan industri gula rafinasi secara besar-besaran dimulai pada 2008. Ketika itu dalam upaya memenuhi kebutuhan gula rafinasi untuk industri makanan dan minuman di pasar domestik pemerintah melalui menteri perindustrian memberikan izin pendirian industri gula rafinasi di dalam negeri.
Melengkapi izin pendirian industri gula rafinasi tersebut, pemerintah juga memberi peluang bagi pengusaha industri gula rafinasi untuk mengimpor gula mentah/ "raw sugar" sebagai bahan bakunya, ditambah fasilitas bea masuk nol persen selama tiga tahun.
Persyaratannya, setelah tiga tahun industri gula rafinasi tersebut diwajibkan mendirikan pabrik gula (PG) dan memiliki kebun tebu sendiri dengan luasan disesuaikan dengan kemampuan kapasitas terpasang PG yang dibangunnya.
"Kenyataannya, dari 11 industri gula rafinasi yang sudah ada sampai sekarang ini, tak satu pun yang memenuhi persyaratan yang ditetapkan. Anehnya pemerintah seakan tutup mata. Harusnya pemerintah segera menutup industri gula rafinasi yang tidak memenuhi persyaratan tersebut," tegasnya.
Sependapat dengan anggota Komisi VI DPR RI itu, Ketua Dewan Pembina APTRI HM Arum Sabil mengatakan, jika serius ingin mencapai target swasembada gula, maka seharusnya pemerintah mengambil langkah tegas terhadap industri gula rafinasi "bodong".
Menurut Arum, pembiaran terhadap keberadaan industri gula rafinasi "bodong" tersebut hanya akan merugikan industri gula nasional secara keseluruhan.
Oleh karena itu, Ketua Dewan Pembina APTRI sepakat agar pemerintah secepatnya melakukan evaluasi dan mengambil tindakan tegas terhadap industri gula rafinasi yang melanggar aturan, selain juga memberikan hukuman yang berefek jera.
"Harusnya pemerintah menghentikan operasional industri gula rafinasi bodong tersebut. Lebih-lebih, berdasarkan laporan Badan Koordinasi Penanaman Modal, sembilan industri gula rafinasi tersebut sudah tidak memperpanjang izin operasionalnya," katanya kepada pers di Jakarta, Selasa.
Menurut Wahid, keterangan tersebut dikemukakannya di hadapan Dewan Pembina dan DPP Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) serta Direksi PT Perkebunan Nusantara (PTPN) XI, PTPN X, PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI), dan PT Kebon Agung selaku mitra strategis petani tebu di Surabaya pada 21 Maret 2016.
Pada kesempatan itu hadir pula utusan DPD APTRI dari Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulsel, dan Lampung, serta DPD APTRI di lingkungan PTPN XI, PTPN X, dan PT RNI.
Menurut anggota Komisi VI DPR RI itu, pembangunan industri gula rafinasi secara besar-besaran dimulai pada 2008. Ketika itu dalam upaya memenuhi kebutuhan gula rafinasi untuk industri makanan dan minuman di pasar domestik pemerintah melalui menteri perindustrian memberikan izin pendirian industri gula rafinasi di dalam negeri.
Melengkapi izin pendirian industri gula rafinasi tersebut, pemerintah juga memberi peluang bagi pengusaha industri gula rafinasi untuk mengimpor gula mentah/ "raw sugar" sebagai bahan bakunya, ditambah fasilitas bea masuk nol persen selama tiga tahun.
Persyaratannya, setelah tiga tahun industri gula rafinasi tersebut diwajibkan mendirikan pabrik gula (PG) dan memiliki kebun tebu sendiri dengan luasan disesuaikan dengan kemampuan kapasitas terpasang PG yang dibangunnya.
"Kenyataannya, dari 11 industri gula rafinasi yang sudah ada sampai sekarang ini, tak satu pun yang memenuhi persyaratan yang ditetapkan. Anehnya pemerintah seakan tutup mata. Harusnya pemerintah segera menutup industri gula rafinasi yang tidak memenuhi persyaratan tersebut," tegasnya.
Sependapat dengan anggota Komisi VI DPR RI itu, Ketua Dewan Pembina APTRI HM Arum Sabil mengatakan, jika serius ingin mencapai target swasembada gula, maka seharusnya pemerintah mengambil langkah tegas terhadap industri gula rafinasi "bodong".
Menurut Arum, pembiaran terhadap keberadaan industri gula rafinasi "bodong" tersebut hanya akan merugikan industri gula nasional secara keseluruhan.
Oleh karena itu, Ketua Dewan Pembina APTRI sepakat agar pemerintah secepatnya melakukan evaluasi dan mengambil tindakan tegas terhadap industri gula rafinasi yang melanggar aturan, selain juga memberikan hukuman yang berefek jera.
Pewarta: Aat Surya Safaat
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016
Tags: