Pakar: perubahan iklim ubah perilaku nyamuk Aedes aegypti
19 Maret 2016 10:49 WIB
Ilustrasi - Petugas Dinas Kesehatan Kota Makassar melakukan pengasapan di Kelurahan Lette, Makassar, Sulawesi Selatan, Selasa (9/2/2016), untuk memutus siklus hidup nyamuk Aedes aegypti penyebab demam berdarah dengue. (ANTARA FOTO/Sahrul Manda Tikupadang)
Bogor (ANTARA News) - Guru Besar Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof Upik Kesumawati Hadi mengungkapkan bahwa perubahan iklim telah mengubah perilaku nyamuk Aedes aegypti yang merupakan vektor penyakit demam berdarah dengue (DBD).
"Kehidupan Aedes aegypti dipengaruhi oleh perubahan iklim, jika suhu meningkat nyamuk dapat hidup lebih aktif dan menularkan virus DBD dengan lebih cepat," kata Prof Upik dalam orasi Ilmiah Guru Besar IPB di Kampus Dramaga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Sabtu.
Ia mengatakan Aedes aegypti adalah nyamuk yang mudah beradaptasi dengan baik. Larvanya yang semula hanya menempati habitat domestik, terutama penampungan air bersih di dalam rumah, kini mampu berkembang di wadah-wadah air yang mengandung berbagai macam polutan.
"Seperti yang terjadi di Komplek IPB Dramaga, pada tahun 1990 masih dihuni Aedes albopictus, tetapi sejak 2002 hingga sekarang sudah didominasi oleh Aedes aegypti. Keduanya kini berperan sebagai vektor primer dan sekunder DBD," katanya.
Tidak hanya itu, lanjutnya, nyamuk Aedes aegypti juga mengalami perubahan perilaku mengisap darah yang semua hanya aktif di siang hari (diurnal), kini juga aktif di malam hari (nokturnal).
"Kondisi ini menuntut kita untuk lebih waspada terhadap nyamuk ini yang juga mempunyai sifat mudah terusik, mampu berpindah-pindah dari satu orang ke orang lain, dan menjadi vektor yang efisien dalam meningkatkan risiko penularan DBD," katanya.
Ia menjelaskan, pengendalian vektor DBD saat ini masih mengutamakan cara kimiawi seperti melalui penyemprotan insektisida (ULV dan fogging), larvasidasi, serta penggunaan insektisida rumah tangga.
Menurutnya, penggunaan insektisida yang sama secara terus menerus dapat menimbulkan resistensi populasi melalui seleksi, yakni menghilangkan individu nyamuk yang rentan dan menyisakan individu-individu yang tahan.
"Belum lagi kemungkinan mutasi gen yang dapat terjadi akibat pemaparan terhadap insektisida. Ini dapat menjadi faktor yang menyebabkan gagalnya upaya pengendalian vektor," katanya.
Hasil penelitian dari tahun 2014 hingga 2015, jelasnya, menunjukkan Aedes aegyti dari 35 kelurahan (35 galur) di Kota Bogor telah resisten terhadap tiga golongan insektisida yang umum dipakai dengan status berbeda yakni 74 persen galur nyamuk berstatus resisten terhadap melation (golongan organofosfat), 63 persen galur resisten terhadap bendiokarb (golong organokarbamat), 86 persen galur resisten terhadap deltametrin (golongan piretroid sintetik) dan 80 persen galur resisten ganda atau lebih dari satu golongan insektisida.
"Dinas Kesehatan Kota Bogor harus berhati-hati dalam menentukan insektisida yang akan digunakan untuk pengendalian vektor di daerah yang sudah toleran dan resisten," katanya.
Manajemen resistensi yang dapat diterapkan, lanjutnya, adalah rotasi penggunaan insektisida serta hanya digunakan saat diperlukan. Telah tersedia peta resistensi di satu daerah yang dapat membantu dinas terkait untuk melakukan pengendalian vektor demam berdarah.
Menurut Prof Upik, penting untuk memahami bioekologi nyamuk Aedes aegypti sebagai vektor DBD agar masyarakat maupun dinas terkait waspada terhadap penularan penyakit yang tergolong berbahaya tersebut.
Dalam orasi ilmiahnya yang berjudul "Pentingnya Pemahaman Bioekologi Vektor Demam Berdarah Dengue dan Tantangan Dalam Upaya Pengendelian" ia memaparkan, peranan nyamuk sebagai vektor penyakit berkaitan erat dengan hubungan segitiga antara nyamuk, agen penyakit, dan inangnya (orang).
"Kondisi bioekologi vektor amat berperan menentukan pola kejadian penyakit DBD di satu wilayah tertentu, seperti menimpa segmen populasi mana, dan bagaimana pola penularannya," katanya.
Gaya hidup manusia modern, lanjutnya, banyak menciptakan habitat baru bagi nyamuk Aedes untuk berkembang biak di lingkungan permukiman. Data hasil penelitian di delapan lokasi menunjukkan angka bebas jentik 17,8-88,5 persen, yang artinya ada peluang terjadinya transmisi penyakit.
"Untuk bebas transmisi DBD di suatu daerah diperlukan angka bebas jentik di atas 95 persen," katanya.
Prof Upik menambahkan, rendahnya kepedulian dan tingginya mobilitas masyarakat mengakibatkan pengendalian vektor DBD tidak berjalan optimal. Sehingga perlu pendidikan dan pelatihan, mengingat kompleksnya permasalahan vektor.
"Pengendalian vektor menjadi pilihan utama untuk menekan DBD sepanjang pendekatan dengan vaksinasi belum berhasil. Upaya pencegahan nyamuk dengan 3M plus tidak cukup tetapi 4M yakni menguras, menutup, mengubur dan memantau," katanya.
"Kehidupan Aedes aegypti dipengaruhi oleh perubahan iklim, jika suhu meningkat nyamuk dapat hidup lebih aktif dan menularkan virus DBD dengan lebih cepat," kata Prof Upik dalam orasi Ilmiah Guru Besar IPB di Kampus Dramaga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Sabtu.
Ia mengatakan Aedes aegypti adalah nyamuk yang mudah beradaptasi dengan baik. Larvanya yang semula hanya menempati habitat domestik, terutama penampungan air bersih di dalam rumah, kini mampu berkembang di wadah-wadah air yang mengandung berbagai macam polutan.
"Seperti yang terjadi di Komplek IPB Dramaga, pada tahun 1990 masih dihuni Aedes albopictus, tetapi sejak 2002 hingga sekarang sudah didominasi oleh Aedes aegypti. Keduanya kini berperan sebagai vektor primer dan sekunder DBD," katanya.
Tidak hanya itu, lanjutnya, nyamuk Aedes aegypti juga mengalami perubahan perilaku mengisap darah yang semua hanya aktif di siang hari (diurnal), kini juga aktif di malam hari (nokturnal).
"Kondisi ini menuntut kita untuk lebih waspada terhadap nyamuk ini yang juga mempunyai sifat mudah terusik, mampu berpindah-pindah dari satu orang ke orang lain, dan menjadi vektor yang efisien dalam meningkatkan risiko penularan DBD," katanya.
Ia menjelaskan, pengendalian vektor DBD saat ini masih mengutamakan cara kimiawi seperti melalui penyemprotan insektisida (ULV dan fogging), larvasidasi, serta penggunaan insektisida rumah tangga.
Menurutnya, penggunaan insektisida yang sama secara terus menerus dapat menimbulkan resistensi populasi melalui seleksi, yakni menghilangkan individu nyamuk yang rentan dan menyisakan individu-individu yang tahan.
"Belum lagi kemungkinan mutasi gen yang dapat terjadi akibat pemaparan terhadap insektisida. Ini dapat menjadi faktor yang menyebabkan gagalnya upaya pengendalian vektor," katanya.
Hasil penelitian dari tahun 2014 hingga 2015, jelasnya, menunjukkan Aedes aegyti dari 35 kelurahan (35 galur) di Kota Bogor telah resisten terhadap tiga golongan insektisida yang umum dipakai dengan status berbeda yakni 74 persen galur nyamuk berstatus resisten terhadap melation (golongan organofosfat), 63 persen galur resisten terhadap bendiokarb (golong organokarbamat), 86 persen galur resisten terhadap deltametrin (golongan piretroid sintetik) dan 80 persen galur resisten ganda atau lebih dari satu golongan insektisida.
"Dinas Kesehatan Kota Bogor harus berhati-hati dalam menentukan insektisida yang akan digunakan untuk pengendalian vektor di daerah yang sudah toleran dan resisten," katanya.
Manajemen resistensi yang dapat diterapkan, lanjutnya, adalah rotasi penggunaan insektisida serta hanya digunakan saat diperlukan. Telah tersedia peta resistensi di satu daerah yang dapat membantu dinas terkait untuk melakukan pengendalian vektor demam berdarah.
Menurut Prof Upik, penting untuk memahami bioekologi nyamuk Aedes aegypti sebagai vektor DBD agar masyarakat maupun dinas terkait waspada terhadap penularan penyakit yang tergolong berbahaya tersebut.
Dalam orasi ilmiahnya yang berjudul "Pentingnya Pemahaman Bioekologi Vektor Demam Berdarah Dengue dan Tantangan Dalam Upaya Pengendelian" ia memaparkan, peranan nyamuk sebagai vektor penyakit berkaitan erat dengan hubungan segitiga antara nyamuk, agen penyakit, dan inangnya (orang).
"Kondisi bioekologi vektor amat berperan menentukan pola kejadian penyakit DBD di satu wilayah tertentu, seperti menimpa segmen populasi mana, dan bagaimana pola penularannya," katanya.
Gaya hidup manusia modern, lanjutnya, banyak menciptakan habitat baru bagi nyamuk Aedes untuk berkembang biak di lingkungan permukiman. Data hasil penelitian di delapan lokasi menunjukkan angka bebas jentik 17,8-88,5 persen, yang artinya ada peluang terjadinya transmisi penyakit.
"Untuk bebas transmisi DBD di suatu daerah diperlukan angka bebas jentik di atas 95 persen," katanya.
Prof Upik menambahkan, rendahnya kepedulian dan tingginya mobilitas masyarakat mengakibatkan pengendalian vektor DBD tidak berjalan optimal. Sehingga perlu pendidikan dan pelatihan, mengingat kompleksnya permasalahan vektor.
"Pengendalian vektor menjadi pilihan utama untuk menekan DBD sepanjang pendekatan dengan vaksinasi belum berhasil. Upaya pencegahan nyamuk dengan 3M plus tidak cukup tetapi 4M yakni menguras, menutup, mengubur dan memantau," katanya.
Pewarta: Laily Rahmawati
Editor: Heppy Ratna Sari
Copyright © ANTARA 2016
Tags: