Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah Indonesia era Presiden Joko Widodo disebut kurang aktif mempromosikan demokrasi dan hak-hak kemanusiaan di kancah internasional.

"Masih kurangnya promosi demokrasi pada kebijakan luar negeri Indonesia, baik di tingkat regional maupun global," kata Ahli Politik dan Hubungan Luar Negeri Indonesia dan Asia Tenggara Universitas South Carolina, Prof. Donald Weatherbee dalam seminar di Jakarta, Kamis.

Ia membandingkan dengan kebijakan luar negeri era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang mengambil peran aktif di panggung diplomasi regional dan global, diantaranya dengan menginisasi Bali Democracy Forum (BDF) pada 2008.

Pemerintah Jokowi, ujar Weatherbee, lebih menekankan diplomasi bilateral dan bahkan tidak segan melempar kritikan pada lembaga keuangan dunia World Bank dan IMF.

Kebijakan luar negeri Indonesia kini, menurut dia, belum "lepas landas" menuju arah yang diyakini dan pragmatis pada kepentingan nasional.

Meski begitu, ia melihat adanya keberlanjutan historis, misalnya kebijakan Indonesia Poros Maritim Dunia yang mengingatkannya pada konsep Wawasan Nusantara dan Deklarasi Djuanda di tahun 50an.

"Perbedaan gaya dan prioritas tidak berarti beda pula substansi atau inti dari kebijakan luar negerinya," ujar Weatherbee.

Tidak sepakat, Deputi Dukungan Kebijakan Pemerintahan Sekretariat Wakil Presiden Republik Indonesia Prof. Dewi Fortuna Anwar mengatakan Indonesia terus mengambil langkah konkret dalam mempromosikan demokrasi dan hak-hak kemanusiaan, terutama di kawasan Asean, misalnya melalui kunjungan ke Myanmar belum lama ini untuk membahas isu-isu demokrasi kedua negara.

Ia juga menolak pandangan kebijakan luar negeri yang belum "lepas landas".

"Kebijakan luar negeri Indonesia sudah autopilot, sudah ada prinsip-prinsip dasar dan sistemnya. Siapa pun presiden dan menteri nya, tinggal menjalankan," kata dia.

Dewi menjelaskan fokus kebijakan Jokowi adalah mendukung pengembangan infrastruktur dan ekonomi dalam negeri.

Untuk itu, pemerintah memprioritaskan hubungan bilateral dengan negara-negara strategis untuk mengejar keuntungan ekonomi konkret, dengan sedikit mengesampingkan komitmen regional dan multilateral.