Jakarta (ANTARA News) - KPK akan bekerja sama dengan Mahkamah Agung untuk menangani korupsi korporasi melalui penerbitan Surat Edaran MA.

"Kami terus terang ingin melihat tanggung jawab korporasi (dalam kasus korupsi). Kami bersyukur bertemu Hakim Agung dan Jampidsus (Jaksa Agung Muda Pidana Khusus) dan akan mengundang lembaga penegak hukum lain untuk membuat surat edaran MA yang berhubungan dengan tanggung jawab korporasi bidang korupsi, sehingga di samping tindak pidana pencucian uang, tanggung jawab korporasi di bidang korupsi akan digiatkan dan MA akan segera membuat itu," kata Wakil Ketua KPK Laode M Syarif di Jakarta, Selasa.

Laode menyampaikan hal tersebut dalam "Seminar Nasional Anti-Corruption and Democracy Outlook 2016: Bersama Melawan Korupsi" yang diselenggarakan oleh Transparency International Indonesia (TII).

"Semisalnya kita mengurus tentang tanggung jawab korporasi. tanggung jawab korporasi itu ternyata MA ingin mengeluarkan surat edaran bagaimana MA bisa bertanggung jawab dengan baik, cuma sampai sekarang ini kan KPK belum pernah mengajukan tanggung jawab untuk korupsi (korporasi) ya, itu hanya ada di Kejaksaan 1, di Kalimantan, oleh karena itu, salah satu cara untuk menyasar kartel macam-macam yang terlibat korupsi antara private sector dengan pejabat publik, kalau bisa ditanggung jawab korporasi ini. Hal ini betul-betul ampuh," tambah Laode.

Namun ia mengaku belum ada target penyelesaian surat edaran MA tersebut.

"Dengan Mahkamah Agung mengatakan sekitar bulan ini akan ketemu, kami akan bertemu mudah-mudahan," ungkap Laode.

Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki yang sebelumnya juga pegiat antikorupsi menilai bahwa gerakan masyarakat sipil seharusnya juga menyasar korupsi korporasi.

"Gerakan antikorupsi saat ini hanya mengawasi seperlima dana yang harus diawasi yaitu sebesar APBD kita yaitu Rp2.100 triliun, padahal uang beredar di Indonesia Rp12 ribu triliun lebih. Korupsi di sektor swasta juga harus mendapat perhatian masyarakat sipil," kata Teten dalam acara yang sama.

Menurut Teten, United Nations Convention against Corruption (UNCAC) sudah memberikan kerangka korupsi di sektor swasta.

"Contohnya kasus Enron di Amerika Serikat ketika perusahaan raksasa swasta tidak bener dan ambruk maka dampak sosial ke dunia sangat besar, karena itu catatan saya ini harus menjadi perhatian kita semua, bagaimana korupsi di sektor swasta, bukan hanya fokus pengadaan pemerintah yang hanya seperlima dari total dana beredar di Indonesia," tegas Teten.

Pada era pimpinan jilid III, KPK juga pernah mewacanakan menyeret korporasi dalam kerangka korupsi korporasi.

Landasan hukum penggunaan kejahatan korporasi menurut mantan Wakil Ketua KPK Bambang WIdjojanto adalah dari pasal 20 No.31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pasal tersebut menjelaskan bahwa Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusnya (ayat 1). Sedangkan pada ayat 2 disebutkan bahwa tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oieh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama.

Tetapi bentuk denda dari kejahatan korporasi hanyalah berupa denda (ayat 7).

Namun Bambang mengakui masih ada sejumlah masalah untuk menerapkan pasal tersebut misalnya penerapan hukum acara dan memperhitungkan dampak terhadap karyawan perusahaan tersebut sehingga KPK harus bekerja sama dengan pejabat pengelolaan aset, bila terjadi pengambilalihan aset yang merupakan aset bersama maka nilai aset akan turun.

Menurut Bambang juga, KPK pernah menangani kasus semi-korporasi yaitu kasus tindak pidana korupsi Presiden Direktur PT Surya Dumai Grup Pung Kian Hua yang mengendalikan perusahaan-perusahaan kehutanan untuk dibangun kebun sawit. Pung Kian Hua divonis 1 tahun 6 bulan penjara dan diminta untuk membayar uang pidana pengganti senilai Rp346 miliar.