Jakarta (ANTARA News) - Tanggal 9 Maret 2016 menjadi hari bersejarah di Indonesia karena fenomena alam langka yakni gerhana Matahari total yang terlihat di sejumlah wilayah daratan di Tanah Air prosesnya bisa disaksikan masyarakat selama kurang dari tiga menit saja.
Sesungguhnya, gerhana Matahari bisa terjadi setiap tahun dengan lama waktu tidak lebih dari tujuh menit.
Namun, untuk dapat menikmati fase dimana Bulan, yang berorbit mengelilingi Bumi setiap 27 hari sekali, berada di antara Matahari dan Bumi; serta dapat disaksikan langsung dari daratan Bumi tidak selalu terjadi setiap tahun. Apalagi untuk dapat menikmati gerhana Matahari total di lokasi yang sama, dibutuhkan hingga 350 tahun.
Itu sebabnya, peristiwa gerhana Matahari total yang terjadi pada hari Rabu pekan ini menjadi istimewa karena Indonesia menjadi satu-satunya negara yang daratannya dilewati fase gerhana Matahari total.
Gerhana Matahari total diperhitungkan akan kembali terjadi di Tanah Air pada 2023 di wilayah bagian timur dan pada 2042 di kawasan bagian barat di Indonesia.
Gerhana Matahari terjadi ketika posisi Bulan berada di antara Matahari dan Bumi sehingga bayangannya menutupi cahaya Matahari menuju ke Bumi. Hal itu menyebabkan kondisi gelap gulita pada pagi hingga siang hari di bagian Bumi yang dilintasi gerhana.
Terdapat empat jenis gerhana Matahari, yakni gerhana total, gerhana sebagian, gerhana cincin dan gerhana hibrida.
Kali ini, gerhana Matahari total melintasi delapan daerah di Indonesia dengan waktu lintas terlama di wilayah Indonesia bagian timur yakni selama 3 menit 17 detik.
Ke-delapan daerah itu adalah Pagai Utara (Sumatera Barat), Palembang (Sumatera Selatan), Tanjung Pandan (Bangka Belitung), Palangkaraya (Kalimantan Tengah), Balikpapan (Kalimantan Timur), Palu (Sulawesi Tengah), Ternate (Maluku Utara) dan Maba (Maluku Utara).
Di sejumlah daerah tersebut, pemerintah daerah bersama pegiat pariwisata menyelenggarakan sejumlah hiburan untuk menarik minat wisatawan menyaksikan peristiwa langka itu. Apalagi, peristiwa gerhana Matahari total yang melintasi wilayah Indonesia berlangsung pada hari libur nasional keagamaan umat Hindu.
Salah satu operator wisata Belitung Indah, Lisa Pamela (25), mengatakan terjadi lonjakan signifikan dari segi jumlah pengunjung wisata di Pantai Tanjung Kelayang, Belitung.
Peningkatan jumlah wisatawan di Tanjung Kelayang pun tidak tanggung-tanggung, mencapai hingga 10 kali lipat.
"Di Belitung terjadi peningkatan wisatawan, baik domestik maupun asing, sekitar 10 kali lipat dari biasanya. Kalau hari libur atau libur long weekend rata-rata jumlah wisatawannya mencapai 300 sampai 400 orang," jelasnya.
Untuk menghibur para wisatawan, dinas pariwisata setempat juga menyajikan tarian hiburan daerah khusus untuk menyambut gerhana Matahari total.
Pantai Tanjung Kelayang di Belitung merupakan salah satu lokasi terbaik untuk menyaksikan fase gerhana Matahari total, Rabu pagi, karena lokasinya yang merupakan alam terbuka dan tidak terdapat halangan seperti pohon atau bangunan.
Wisata astronomi
Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Thomas Djamaludin mengatakan fenomena alam gerhana Matahari total seperti yang terjadi di Indonesia ini dapat dimanfaatkan sebagai dongkrak terhadap wisata astronomi.
Thomas mengatakan saat ini fenomena astronomi telah bergeser maknanya dari banyak mitos di jaman dahulu menjadi tren wisata yang dapat dikembangkan sekaligus memberi edukasi kepada masyarakat.
"Setidaknya dengan adanya gerhana Matahari total ini diharapkan dapat memberikan dampak positif untuk mencerdaskan masyarakat, sehingga tidak lagi dikait-kaitkan dengan mitos yang kontraproduktif," kata Thomas.
Selain memiliki daya tarik tersendiri di kalangan masyarakat, fase gerhana Matahari juga dapat dimanfaatkan untuk memulai wisata langit gelap atau dark sky tourism, yang sudah dikembangkan oleh sejumlah negara bagian di Amerika Serikat.
"Gerhana Matahari total kali ini bisa kita ambil manfaatnya sebagai awal dari pengetahuan kita terhadap fenomena astronomi, wisata astronomi seperti langit gelap. Ada beberapa daerah di Indonesia yang masih belum terlalu banyak terkena polusi cahaya, sehingga bisa digunakan sebagai tempat wisata untuk melihat rasi bintang atau pun gerhana seperti hari ini," jelasnya.
Thomas menjelaskan gerhana Matahari total merupakan peristiwa unik karena posisi Bulan menutupi Matahari tidak selalu terjadi setiap Bulan baru.
Pada gerhana Matahari total tahun ini, jalur gerhana dimulai dari Samudra Hindia hingga Pasifik di sebelah utara Kepulauan Hawaii, Amerika Serikat dengan rentang sejauh 1.200-1.300 kilometer (km), dengan lebar jalur mencapai 155-160 km melintasi 12 provinsi di Indonesia.
Lama fase gerhana Matahari total yang melintasi wilayah Indonesia berkisar antara 1,5 hingga lebih dari tiga menit.
Apabila di wilayah barat Indonesia, yakni Pulau Pagai, Sumatera Barat, dilintasi sangat singkat selama 1 menit 54 detik; maka di Maba, Maluku Utara menjadi lokasi yang paling lama dilintasi gerhana.
Sementara lintas gerhana Matahari total terjadi di salah satu titik di perairan Samudera Pasifik yakni mencapai 4 menit 9 detik, kata Thomas.
Salah Kaprah
Fenomena alam gerhana Matahari total pernah melintas di daratan Indonesia 33 tahun lalu, tepatnya 11 Juni 1983, yakni di kawasan Pulau Jawa dan sekitarnya, Sulawesi Utara dan Papua.
Namun, keterbatasan informasi pada saat itu menyebabkan euforia masyarakat untuk menyaksikan gerhana menjadi tidak terasa.
Pemerintah, pada saat itu dipimpin oleh Presiden Soeharto, menerbitkan imbauan agar masyarakat tidak keluar rumah dan melihat langsung peristiwa langka tersebut. Hal itu disebabkan adanya pemahaman bahwa menyaksikan gerhana Matahari dapat menyebabkan kebutaan.
Pemahaman itu tidak keliru sebenarnya, hanya saja Pemerintah pada saat itu kurang menyebarkan informasi mengenai cara-cara aman untuk menyaksikan fenomena alam tersebut termasuk tentang kacamata khusus yang dapat digunakan untuk menghindari risiko kebutaan.
Salah satu warga yang pernah menjadi saksi hidup pada gerhana Matahari total 1983, Sri Muryono, mengatakan memang sempat muncul ketakutan untuk melihat gerhana pada saat itu.
Namun, rasa penasaran yang tinggi menyebabkan dia nekat menyaksikan proses gerhana Matahari total dengan menggunakan cara tradisional yaitu memakai ember berisi air.
Muryono, yang pada saat itu berusia 15 tahun, menyaksikan fenomena alam gerhana Matahari total melalui pantulan bayangan Matahari di permukaan air di ember.
Ketakutan serupa juga dialami Wakil Presiden Jusuf Kalla, yang pada saat itu memilih berada di dalam rumah dan melewatkan fenomena alam langka itu.
"Dulu waktu gerhana saya sembunyi di dalam rumah. Tahun 1983 waktu itu, saya jaga anak agar jangan sampai keluar rumah. Dan itu kesalahan besar," kenang Jusuf Kalla.
Dengan pengetahuan yang belum semaju saat ini ditambah dengan model kepemimpinan otoriter pada masa orde baru itu, Kalla mengatakan banyak warga memilih berdiam di rumah supaya tidak terkena dampak buruk gerhana Matahari seperti yang digaungkan pemerintah saat itu.
Kali ini, Wapres Kalla tidak ingin melewatkan momen langka tersebut dengan turut menyaksikan fase gerhana Matahari total di Kotapulu, Palu, Sulawesi Tengah, Rabu.
Dia pun turut mengenakan kacamata tiga dimensi khusus untuk menyaksikan fase gerhana Matahari total yang telah diprediksi jauh-jauh hari oleh ilmuwan.Wapres juga turut menyaksikan gerhana Matahari total melalui teropong.
Dari peristiwa itu, Wakil Presiden Jusuf Kalla berharap ada temuan baru mengenai ilmu pengetahuan dari fenomena alam gerhana Matahari total.
"Bagi generasi muda fenomena alam seperti ini rutin dan bisa timbul teori-teori baru. Ini fenomena luar biasa yang jarang terjadi. Saya bersyukur tempat ini nyaman dan tidak terhalang mendung. Ilmuwan berdatangan ke sini," katanya.
Meneropong peristiwa langka gerhana Matahari total
9 Maret 2016 19:25 WIB
Gerhana Matahari total (GMT) terlihat dari Silaut, Kabupaten Selatan, Sumatera Barat, Rabu (9/3/2016). Fenomena GMT dinikmati di kawasan paling selatan di propinsi itu selama dua jam 6 menit dengan magnitudo 1.002 dan puncak GMT selama 50 detik. (ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra/ama/16)
Oleh Fransiska Ninditya
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2016
Tags: