Jakarta (ANTARA News) - Mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari membantah mengetahui kasus dugaan tindak pidana korupsi pengadaan alat kesehatan RS Universitas Airlangga dan laboratorium tropik infeksi di Universitas Airlangga tahap 1 dan 2 tahun anggaran 2010.

"Saya sebagai saksi kasusnya pada waktu Bu Endang menjadi menteri. Jadi saya sudah tidak jadi menteri lagi, karena Bu Endang sudah meninggal, maka mereka membutuhkan keterangan-keterangan, kalau andaikan masih ada Bu Endang," kata Fadilah seusai diperiksa KPK sekitar tiga jam di gedung KPK Jakarta, Senin.

Fadilah menjabat Menteri Kesehatan pada 2004-2009 dan digantikan Endang Rahayu Sedyaningsih untuk periode 2009-2012, namun pada Mei 2012 Endang meninggal dunia.

"Aku tidak tahu, wong itu proyeknya Bu Endang, hanya ditanya tugas-tugas menteri itu apa. Itu kan tahun 2010, bukan tahun saya jadi menteri, tidak tahu dong, Bu Endang sudah tidak ada jadi mau tanya siapa?" ungkap Fadilah.

Pemeriksaannya ini adalah panggilan yang ketiga karena sebelumnya ia sudah dua kali tidak memenuhi panggilan KPK dalam kasus yang sama yaitu 19 Februari dan 2 Maret 2016.

"Enggak, enggak, aku pamit tapi tidak sampai pamitku," jawab Fadilah saat ditanya ketidakhadirannya sebanyak dua kali.

Ia pun membatah dijemput paksa oleh penyidik KPK.

"Ngaco, ya datang sendiri dong," kata Fadilah.

Fadilah hanya mengaku kenal satu orang tersangka yaitu Kepala Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kementerian Kesehatan Bambang Giatno Raharjo.

"Aku gak kenal (Mintarsih), satunya lagi bekas eselon satu saya," ungkap Fadilah.

Dalam kasus ini, KPK menetapkan dua orang sebagai tersangka yaitu Kepala Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kementerian Kesehatan Bambang Giatno Raharjo dan Direktur Marketing PT Anugerah Nusantara Mintarsih.

Kasus ini merupakan pengembangan dari kasus korupsi yang meililit pemilik Anugerah Grup yaitu mantan bendahara umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin.

Sedangkan Siti Fadilah juga menjadi tersangka dan dijerat dengan Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 juncto Pasal 15 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto pasal 56 ayat 2 KUHP tentang orang yang melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp1 miliar.

Anggota Dewan Pertimbangan Presiden Bidang Kesehatan dan Kesejahteraan Rakyat 2010-2014 itu dalam dakwaan mantan Kepala Pusat Penanggulangan Krisis Departemen Kesehatan Rustam Syarifuddin Pakaya disebut mendapat jatah dari hasil korupsi pengadaan Alkes 1 untuk kebutuhan Pusat Penanggulangan Krisis Depkes dari dana Daftar Isian Pelaksana Anggaran (DIPA) Revisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun anggaran 2007.

Jatah tersebut berupa Mandiri Travellers Cheque (MTC) senilai Rp 1,275 miliar, namun ia belum pernah dipanggil sebagai tersangka dalam penyidikan kasus ini.