Jakarta (ANTARA News) - Langkah Dewan Perwakilan Daerah (DPD) untuk mewujudkan amandemen lanjutan terhadap konstitusi agaknya bakal kandas di tingkat wacana maupun di awal semangat para senator di DPD saat menggalang dukungan dari berbagai pihak, karena partai-partai besar yang menguasai parlemen secara tegas menolak upaya itu. Kandasnya wacana amandemen konstitusi itu tecermin dari pernyataan tegas tiga pimpinan partai besar yang menguasai parlemen, baik DPR maupun MPR, yaitu Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai (DPP) Golongan Karya (Golkar), Andi Matalatta, Sekretaris Jenderal (Sesjen) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Pramono Anung, dan Wakil Ketua Umum DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Chozin Chumaidy, dalam dialektika demokrasi di Press Room DPR di Senayan Jakarta, Jumat. Andi menjelaskan, penolakan Golkar terhadap langkah DPD mengusulkan amandemen lanjutan didasarkan tiga hal, yaitu dari segi timing (waktu) yang tidak tepat, keseriusan fraksi atau partai politik yang memiliki perwakilan di parlemen, serta subtansi yang diusulkan. Selain waktu yang dinilai tidak tepat, Golkar juga menilai bahwa substansi yang diusulkan untuk diamandemen tidak tepat, karena keseriusan partai politik untuk mengamandemen lanjutan terhadap konstitusi juga dipertanyakan. "Ada sembilan anggota FKB yang mendukung, tetapi ketuanya tidak. Lima anggota PKS mendukung, tetapi ketuanya tidak. Hanya Fraksi Partai Bintang Reformasi (PBR) yang solid, 11 orang," katanya. Tidak adanya keseriuan partai politik yang telah menyatakan mendukung wacana amandemen konstitusi dipertanyakan pula, karena tampak dukungan itu berasal dari kalangan pribadi. "Dari segi substansi juga tidak tepat, justru bisa merugikan DPD, dukungan mewujudkan Sidang MPR itu justru berpotensi membubarkan DPD," kata Andi, yang juga Ketua Fraksi Partai Golkar (FPG) DPR. Sementara itu, Pramono secara tegas menyatakan, pihaknya menolak amandemen konstitusi lantaran selama ini tidak ada wacana publik yang bisa menjadi landasan bagi parlemen untuk melanjutkan hal itu. "Yang ada, wacana dari anggota DPD yang kewenangannya ingin ditambah," katanya. Dia menyatakan, rakyat tidak memikirkan amandemen konstitusi, karena rakyat sedang susah dan sedang banyak dilanda musibah. "Sampai sekarang belum ada hal substansi yang bia dijadkan alasan untuk mengamandemen konstitusi," katanya. Ia menilai, tuntutan DPD, agar dilaksanakan Sidang MPR untuk mengamandemen konstitusi juga berbahaya, karena bisa menjadi bola liar, karena Sidang MPR bisa dijadikan banyak pihak untuk bermain menggolkan agendanya masing-masing. Chozin Chumaidy juga menyatakan, PPP sampai saat ini menilai belum saatnya dilaukan amadnemen lanjutan. "Amanademen kelima baru lima tahun lalu, DPD baru lahir tiga tahun lalu. Saya kira DPD perlu lebih diberi kesempatan terlebih dahulu untuk mengaktualisasikan dirinya," kata Chozin. Anggota DPD semestinya sudah mengetahui bahwa peran DPD akan seperti saat ini, sehingga ketika masuk ke DPD memahaminya. Bukan ketika masuk ke DPD, justru berupaya mengubah konstitusi. "Wacana amandemen ini harus dicermati betul, apa urgensinya," kata Chozin. Dulu perubahan secara berturut-turut UUD 1945 dilakukan atas desakan reformasi. Saat ini, tuntutan ini tidak muncul dari rakyat, tetapi dari anggota DPD, katanya menambahkan. (*)