Yogyakarta (ANTARA News) - Sekitar 70 persen emisi karbondioksida di Kota Yogyakarta berasal dari kendaraan bermotor, dan sisanya dari berbagai sumber lain seperti industri, perkantoran hingga pedagang kaki lima.

"Tidak bisa dipungkiri, kendaraan bermotor yang memanfaatkan bahan bakar fosil adalah sumber emisi karbondioksida terbesar di Kota Yogyakarta," kata Peneliti Pusat Studi Transportasi dan Logistik (Pustral) Universitas Gadjah Mada Sa'duddin dalam Seminar Hasil Penghitungan Emisi di Yogyakarta, Rabu.

Emisi karbondioksida tertinggi di Kota Yogyakarta ada di Jalan Pemukti, yang dekat dengan Terminal Giwangan Yogyakarta.

Berdasarkan hasil penghitungan emisi tersebut, Pustral mengusulkan perbaikan sistem transportasi massal di Kota Yogyakarta untuk menekan penggunaan kendaraan pribadi guna menurunkan tingkat emisi.

"Sudah ada bus Transjogja. Namun, keberadaannya belum mampu memenuhi kebutuhan masyarakat untuk menjalankan aktivitasnya sehari-hari sehingga masih banyak warga yang memilih menggunakan kendaraan pribadi," katanya.

Pustral dan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta, menurut dia, sudah menyusun data dasar pergerakan kendaraan dan masyarakat sebagai basis data untuk merencanakan sistem transportasi massal yang baik dan bisa memenuhi kebutuhan masyarakat.

"Data dasar pergerakan kendaraan tersebut sangat diperlukan karena dapat diketahui bagaimana kecenderungan pergerakan masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya dalam menjalankan aktivitasnya sehari-hari," katanya.

"Jika sudah ada data dasarnya, maka perencanaan sistem transportasi massal diharapkan lebih baik karena sesuai dengan kebutuhan masyarakat," katanya.

Selain mendorong pemenuhan transportasi massal, ia meminta warga untuk menambah keberadaan ruang terbuka hijau guna menyerap lebih banyak polutan.

Sementara itu, berdasarkan pendataan yang dilakukan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta, beberapa parameter kualitas udara di Kota Yogyakarta masih di bawah baku mutu yang ditetapkan.

Kadar karbon monoksida (CO) di Kota Yogyakarta misalnya, rata-rata 1.000 miugram per meter kubik, sedang baku mutunya ditetapkan 30.000 miugram per meter kubik.

Pada 2015, Kota Yogyakarta meraih penghargaan tertinggi untuk kategori kota besar dengan kualitas udara terbaik.

"Rata-rata kualitas udara di Kota Yogyakarta masih baik. Namun, kami juga tetap mengupayakan berbagai cara untuk menjaga dan meningkatkan kualitas udara di Kota Yogyakarta agar tetap baik," kata Kepala Badan Lingkungan Hidup Kota Yogyakarta Suyana.

Salah satu upaya yang dilakukan adalah menambah keberadaan ruang terbuka hijau publik di perkampungan.

Tahun ini, Badan Lingkungan Hidup akan membangun enam ruang terbuka hijau publik dan merawat tanaman-tanaman perindang di tepi jalan.

"Tanaman itu perlu dipangkas. Pemangkasan dilakukan bukan hanya untuk menjaga kekuatan pohon saat angin kencang tetapi daun yang baru muncul diharapkan bisa menyerap lebih banyak polutan," katanya.