Jakarta (ANTARA News) - Max Lane (2007) pernah menulis buku tentang Indonesia sebagai "bangsa yang belum selesai", istilah yang dipakai sejarawan Amerika Alan Brinkley (1992) dalam kajiannya tentang masyarakat Amerika.

Bagi Lane, proyek mengindonesia adalah sebuah perjuangan dari bawah. Dia menolak pendekatan elitis yang percaya bahwa perubahan harus datang dari atas.

Secara teoretis, sepenuhnya saya sejalan dengan Lane. Secara kontekstual, saya berbeda. Indonesia masih memerlukan intervensi kelembagaan dalam menciptakan perubahan.

Maka, diskursus menghidupkan kembali Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) menarik dicermati. "Negara ini harus punya haluan, ke mana negara akan dibawa?" kata Presiden RI Joko Widodo ketika membuka rapat kerja nasional (Rakornas) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan di Jakarta, 10 hingga 12 Januari 2016 (Kompas, 11/1/2016).

Pesan yang sama mencuat dalam pidato Ketua Umum PDIP Megawati Sukarnoputri dalam acara yang sama.

Presiden kelima Republik Indonesia itu menyesalkan praktik pembangunan selama ini yang dangkal dan hanya bersandar pada agenda lima tahunan. Kedangkalan itu melahirkan kegalauan yang mendesak kita untuk belajar dari sejarah Program Pembangunan Nasional Semesta Berencana zaman Soekarno yang dinilai mampu menjamin stabilisasi dasar dan arah pembangunan yang dilanjutkan Soeharto dengan model GBHN-nya.

Namun, kita ingat, dihapusnya GBHN sejak amendemen UUD 1945 tahun 1999 adalah bagian dari agenda membersihkan ruang demokrasi dari warisan Soehartoisme yang dituduh berjasa membunuh demokrasi sipil. Sebagai gantinya, Undang-Undang No 25/2004 mengatur soal Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) yang memuat Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM).

Sejak 2004, SPPN yang sejatinya metamorfosis dari GBHN ternyata sarat dengan haluan partai yang berkuasa. Maka, masuk akal bila sering terjadi turbulensi dan tidak terciptanya ekuilibrium pembangunan. Keresahan Jokowi dan Megawati perlu dipahami dalam ruang ini.

Lagi pula, ada sejumlah kondisi yang patut dipertimbangkan. Pertama, kegamangan ideologi. Douglas E. Ramage (1995) pernah mengatakan bahwa Indonesia terlalu sering ribut dengan urusan ideologi sehingga selalu terjebak dalam konflik politik tak berujung. "Ini yang saya sebut sebagai kegamangan ideologi," katanya.

Pendiri Republik sudah menegaskan bahwa Pancasila sebagai "weltanschauung", pandangan hidup. Mestinya ini yang menjadi dasar dari seluruh gagasan politik demokrasi Indonesia. Namun, dalam praktik, muncul relatif banyak haluan lain yang mengatasnamakan dan berjubah kebebasan demokratik.

Akan tetapi, dalam kenyataan, haluan-haluan itu justru menjadi virus yang membunuh demokrasi dari dalam. Pada titik ini, kita patut mengapresiasi Menteri Dalam Negeri yang sejak 2014 sudah berhasil membatalkan sejumlah peraturan daerah yang bertentangan dengan Pancasila.

Pancasila tidak dimaksudkan membunuh keragaman ideologi, tetapi sebagai "melting pot" yang merangkul kebinekaan itu (Kymlica, 1995) dan menyelaraskannya dengan lima prinsip pokok Pancasila. Dengan begitu, keragaman ideologi tidak menjadi sumber benturan, tetapi jati diri dari Indonesia yang bineka tunggal ika.

Dalam konteks ini, haluan negara dimaksudkan sebagai piranti lunak yang menyambung ideologi dengan praktik politik dalam rangka mencapai tujuan teleologis dari kekuasaan demokratis (Terence Ball dan Richard Dagger, 1991).

Kedua, liberalisasi politik dan segala konsekuensinya. Liberalisasi politik telah menjadikan individu sebagai sentrum dari aktivasi sosial, ekonomi, dan politik. Tiap orang berhak mengekspresikan kebebasannya. Hal ini tentu positif. Akan tetapi, kebebasan menjadi buruk ketika medan demokrasi dikuasai oleh mereka yang menguasai akses dan fasilitas kebebasan karena uang yang miliki.

Kebebasan politik pun kemudian dicemari kebebasan yang berbasis uang. Maka, tidak heran kalau "money politics" berkembang atau ruang demokrasi tiba-tiba menjadi privilese (hak istimewa) para konglomerat. Dalam kebebasan yang negatif ini, rakyat teralienasi dari proses sosial-politik.

Maka, benar apa yang dikatakan Jeffrey A. Winters (2011), demokrasi sudah dibajak oleh kekuatan oligarkis.

Ketiga, reformasi yang masih rapuh. Di Amerika Serikat, orang tidak berbicara tentang GBHN karena (1) semua sudah diatur dalam Konstitusi, (2) distingsi ideologis di level partai sudah stabil, dan (3) masyarakat sadar politik. Kita masih jauh. Konstitusi kita sudah demokratis dan mengatur semuanya, tetapi distingsi ideologis di tingkat partai masih rapuh.

Ini adalah konsekuensi dari transisi politik sesudah 1998 yang tidak disertai internalisasi nilai secara mapan.

Pelembagaan demokrasi berjalan dengan baik (Huntington, 1996), tetapi penguatan nilai demokrasi masih rapuh di dua level: level elite dan level masyarakat sipil. Maka, tidak perlu heran kalau ada wakil rakyat (malah banyak!), yang belum paham betul apa itu demokrasi. Mereka bermain dalam bingkai demokrasi untuk tujuan-tujuan yang tidak demokratis.

Tiga kondisi di atas adalah latar belakang yang penting untuk memahami kenapa muncul wacana menghidupkan kembali GBHN. Perlu ada "paksaan" untuk menata orientasi politik supaya demokrasi tidak dibajak oleh kepentingan pragmatis partai politik setiap kali menang pemilu.

*) Penulis adalah pakar politik dan Dewan Pengawas Perum LKBN ANTARA