Surabaya (ANTARA News) - Peneliti dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Prof Dr dr Nasronudin SpPD K-PTI FINASIM menjelaskan bahwa alat "Real Time Polymerase Chain Reactilon" bisa mendeteksi virus zika sejak dini.
"Pendeteksian dini virus zika bisa menggunakan alat Real Time Polymerase Chain Reactilon (RTPCR), karena alat tersebut bisa membedakan virus dengue yang dibawa oleh nyamuk dengue maupun virus zika," katanya ketika dikonfirmasi Antara di Surabaya, Jumat.
Ia mengatakan, Indonesia sebagai negara yang memiliki iklim tropis seperti Amerika Latin, maka memiliki potensi terserang virus zika yang menyebar lewat gigitan nyamuk Aedes aegypti.
"Baik virus zika maupun virus dengue sama-sama ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti. Gejala infeksi kedua virus ini pun hampir mirip yaitu demam, namun ada beberapa gejala yang membedakan ketika seseorang terinfeksi virus Zika atau dengue yang menyebabkan Demam Berdarah Dengue (DBD)," papar Direktur RS Unair tersebut.
Virus Zika, lanjutnya selain menyebabkan demam mendadak tinggi dan mata merah, juga bisa menimbulkan gejala nyeri otot dan sendi, sakit kepala, lemas, serta kemerahan di kulit badan, punggung, hingga kaki.
"Kalau demam berdarah timbul bintik merah, namun pada kasus berat hingga menyebabkan pendarahan. Berbeda dengan DBD yang mengakibatkan trombosit akan turun, sedangkan pada Zika, trombositnya normal," tuturnya.
Menurut dia, untuk mendeteksi virus zika secara dini, pihak RS Unair telah menyiapkan tenaga medis untuk membantu pasien jika terkena virus zika karena fasilitas berupa alat RTPCR telah tersedia.
"Cara kerja alat tersebut secara gamblang mendeteksi DNA virus yang ada, nantinya darah suspect zika diambil sebanyak 1,5 cc. Darah tersebut akan diteteskan pada serum khusus untuk mendeteksi keberadaan virus," jelasnya.
Terkait adanya kemungkinan mikrosefalus terhadap ibu hamil penderita zika, Nasronudin menuturkan belum ada kajian komprehensif terkait kemungkinan itu, karena selama ini mikrosefalus masih menjadi penyakit gen atau keturunan, bukan disebabkan adanya virus.
"Sebagian besar pakar internasional juga belum terlalu meyakini ada tidaknya hubungan langsung antara infeksi virus Zika dan kejadian mikrosefalus, sehingga hal ini masih perlu penelitian lebih lanjut untuk menyamakan pendapat tentang hal ini," terangnya.
Di sisi lain, adanya kabar satu penderita positif zika di Jambi, menurut Nasronudin pasien tersebut masih harus diuji. Dengan kata lain, tidak hanya pengambilan sampel darah, namun juga riwayatnya untuk mengetahui penderita apakah pernah melakukan perjalanan ke daerah endemik zika.
"Sebenarnya masih lebih berbahaya DB ketimbang zika, namun karena World Helath Organizations (WHO) telah menyatakan Waspada Kesehatan, maka semua di belahan dunia perlu dilakukan langkah preventif," ujarnya.
Kendati demikian, ia menambahkan penangkal utama masuknya segala jenis penyakit adalah kondisi tubuh manusia, jika seseorang sehat dengan asupan nutrisi baik, imunitas orang tersebut secara otomatis akan menangkal virus, bakteri, atau mikroba penyakit yang masuk ke dalam tubuh.
Peneliti: RTPCR bisa deteksi virus zika
5 Februari 2016 20:48 WIB
Ilustrasi - Nyamuk Aedes Aegypti penyebar Virus Zika (ANTARA)
Pewarta: Indra/Laily
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2016
Tags: