Jakarta (ANTARA News) - Dokter spesialis ginjal dan hipertensi Tunggul Diapari Situmorang SpPD-KGH mengatakan ginjal dari orang yang sudah dinyatakan meninggal secara medis bisa menjadi alternatif sumber donor.

"Sumber donor bisa dari orang yang hidup atau sudah meninggal secara medis. Selama ini di Indonesia, donor ginjal baru dilakukan dari orang yang hidup. Persoalannya, donor sangat terbatas," kata Tunggul saat dihubungi ANTARA News, Jumat.

Ia menegaskan bahwa transplantasi ginjal dari orang yang meninggal secara medis tidak bertentangan dengan agama.

Berdasarkan Kesepakatan Kemayoran tahun 1995 yang dihadiri dokter, para pemuka agama, majelis ulama serta ahli dari Mesir dan Arab Saudi menyepakati bahwa donor jenazah tidak bertentangan dengan agama.

"Yang harus dimengerti dari donor jenazah pada transplantasi ginjal bahwa donornya belum meninggal tetapi secara medis batang otaknya sudah mati namun ginjalnya masih berfungsi baik," jelas Tunggul.

"Selebihnya urusan kedokteran apakah ginjal donor cocok dengan penerima donor atau tidak. Tetapi sekarang sudah maju sekali, kalau dulu golongan darah harus cocok sekarang kalau pun tidak cocok sudah ada obat-obatan walaupun yang terbaik tetap ginjal yang benar-benar cocok," tambahnya.

Menurut Tunggul, persoalan transplantasi ginjal di dunia termasuk di Indonesia adalah donor yang sangat terbatas.

Transplantasi donor dari orang yang hidup pun sebetulnya tidak bisa sembarangan yakni dari golongan donor yang ada hubungan saudara kandung (saudara kandung, ayah kandung, anak kandung), tidak ada hubungan saudara kandung (tante, paman, keponakan, sepupu) serta donor yang memiliki hubungan emosi yang kuat (suami, istri, anak).

"Setelah itu pun prosesnya tidak sederhana karena donor harus sehat, dengan sudah memberikan ginjal secara medis tetap normal," ujarnya.

Oleh sebab itu, kesenjangan antara kebutuhan dan persediaan yang tinggi mendorong orang-orang yang tidak bertanggung jawab untuk mengambil keuntungan, salah satunya melakukan perdagangan ginjal yang jelas-jelas melanggar hukum, katanya.

"Selama kebutuhan dan persediaan kesenjangannya tinggi, pasti ada upaya orang untuk ambil keuntungan. Itu bukan hanya terjadi di Indonesia, tetapi di seluruh dunia. tetapi ketika butuh banyak namun suplai terbatas, apalagi soal kehidupan, apapun akan dilakukan orang untuk kesehatan." katanya juga.