Penjelasan Menperin soal garam impor
2 Februari 2016 16:04 WIB
Dirkrimum Polda Metro Jaya Kombespol Krishna Murti (kiri) melakukan penggeledahan salah satu pabrik garam import di kawasan Candi, Sidoarjo, Jawa Timur, Rabu (26/8/15). (ANTARA FOTO/Umarul Faruq)
Jakarta (ANTARA News) - Menteri Perindustrian Saleh Husin mengungkapkan, ada perubahan sistem impor garam sehingga pihaknya tidak ikut lagi dalam pengambilan keputusan terkait masalah itu.
"Impor garam sesuai keputusan rapat koordinasi di Kantor Menko Maritim dan Sumber Daya waktu itu, dilakukan dengan sistem post audit," kata Menperin Saleh Husin di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Selasa.
Ia menyebutkan, dengan sistem itu maka tidak perlu lagi ada pertimbangan teknis atau rekomendasi dari Kementerian Perindustrian.
"Jadi langsung keputusan Kementerian Perdagangan, dan Kemenperin tidak ikut-kutan, kan diputuskan dengan sistem post audit," katanya.
Ia menyebutkan rapat koordinasi waktu itu diikuti Mendag, Menko Maritim dan Sumber Daya, Ditjen Bea dan Cukai Kemenkeu, KPPU, dan kepolisian.
Menperin meminta agar perubahan sistem impor itu tidak menyebabkan industri kesulitan mendapatkan bahan baku produksi berupa garam.
"Intinya buat saya jangan sampai industri kita stop beroperasi karena tidak ada bahan baku, itu kan dampaknya jauh lebih besar," katanya.
Ia mencontohkan PT Asahimas selaku perusahaan yang membutuhkan garam industri dalam jumlah besar.
"Kalau kita datang ke lapangan penumpukannya, itu stok garamnya menggunung seperti gunung salju. Tidak mungkin garam itu dicuri terus dibawa ke pasar, tidak mungkin nyambung karena jenis garamnya beda. Selama ini orang kalau dengar garam dianggap sama saja," katanya.
Dalam rapat koordinasi itu, Menperin mengusulkan agar nomor kode harmonisasi (HS) garam industri dan garam konsumsi dibedakan atau dipisahkan.
Ia menyebutkan selama ini nomor kode harmonisasinya digabung sehingga selalu membingungkan.
Ia menyebutkan garam industri yang dipakai Asahimas selaku produsen kaca beda dengan garam konsumsi.
Garam industri memiliki kadar NaCl yang tinggi sehingga tidak mungkin dikonsumsi.
Ia menyebutkan kebutuhan garam industri perusahaan itu mencapai satu juta ton per tahun.
"Orang selalu bilang wilayah kita dua per pertiga berupa laut masak Indonesia impor garam. Kalau analogi itu yang dipakai maka Jepang juga tidak perlu impor garam," katanya.
Menperin menyebutkan nilai impor garam konsumsi sebenarnya kecil yaitu hanya sekitar 17 juta dolat AS.
"Garam konsumsi itu untuk industri makanan dan minuman dan dari impor 17 juta dolar AS, tapi nilai tambah akibat adanya industri makanan dan minuman mencapai lima miliar dolar AS," kata Menperin.
"Impor garam sesuai keputusan rapat koordinasi di Kantor Menko Maritim dan Sumber Daya waktu itu, dilakukan dengan sistem post audit," kata Menperin Saleh Husin di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Selasa.
Ia menyebutkan, dengan sistem itu maka tidak perlu lagi ada pertimbangan teknis atau rekomendasi dari Kementerian Perindustrian.
"Jadi langsung keputusan Kementerian Perdagangan, dan Kemenperin tidak ikut-kutan, kan diputuskan dengan sistem post audit," katanya.
Ia menyebutkan rapat koordinasi waktu itu diikuti Mendag, Menko Maritim dan Sumber Daya, Ditjen Bea dan Cukai Kemenkeu, KPPU, dan kepolisian.
Menperin meminta agar perubahan sistem impor itu tidak menyebabkan industri kesulitan mendapatkan bahan baku produksi berupa garam.
"Intinya buat saya jangan sampai industri kita stop beroperasi karena tidak ada bahan baku, itu kan dampaknya jauh lebih besar," katanya.
Ia mencontohkan PT Asahimas selaku perusahaan yang membutuhkan garam industri dalam jumlah besar.
"Kalau kita datang ke lapangan penumpukannya, itu stok garamnya menggunung seperti gunung salju. Tidak mungkin garam itu dicuri terus dibawa ke pasar, tidak mungkin nyambung karena jenis garamnya beda. Selama ini orang kalau dengar garam dianggap sama saja," katanya.
Dalam rapat koordinasi itu, Menperin mengusulkan agar nomor kode harmonisasi (HS) garam industri dan garam konsumsi dibedakan atau dipisahkan.
Ia menyebutkan selama ini nomor kode harmonisasinya digabung sehingga selalu membingungkan.
Ia menyebutkan garam industri yang dipakai Asahimas selaku produsen kaca beda dengan garam konsumsi.
Garam industri memiliki kadar NaCl yang tinggi sehingga tidak mungkin dikonsumsi.
Ia menyebutkan kebutuhan garam industri perusahaan itu mencapai satu juta ton per tahun.
"Orang selalu bilang wilayah kita dua per pertiga berupa laut masak Indonesia impor garam. Kalau analogi itu yang dipakai maka Jepang juga tidak perlu impor garam," katanya.
Menperin menyebutkan nilai impor garam konsumsi sebenarnya kecil yaitu hanya sekitar 17 juta dolat AS.
"Garam konsumsi itu untuk industri makanan dan minuman dan dari impor 17 juta dolar AS, tapi nilai tambah akibat adanya industri makanan dan minuman mencapai lima miliar dolar AS," kata Menperin.
Pewarta: Agus Salim
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2016
Tags: