Wajah perempuan dalam bingkai film SITI
2 Februari 2016 08:38 WIB
Eddie Cahyono mengangkat piala dalam dalam Malam Puncak Festival Film Indonesia (FFI) 2015, di Gedung ICE BSD City, Banten, (23/11/2015). Eddy Cahyono menyabet piala FFI 2015 untuk kategori penulis skenario asli terbaik dalam film SITI. (ANTARA FOTO/Rosa Panggabean)
Jakarta |(ANTARA News) - SITI, peraih kategori Film Terbaik dalam Festival Film Indonesia 2015, berkisah tentang perempuan Siti (Sekar Sari) yang sendirian menghidupi keluarga setelah sang suami Bagus
(Ibnu Widodo) lumpuh akibat kecelakaan laut.
Siti harus berjuang melunasi utang sekaligus merawat anak mereka Bagas (Bintang Timur Widodo) yang masih sekolah SD.
Dia tidak punya pekerjaan tetap, hanya berjualan "peyek" atau keripik di siang hari dan sebagai seorang pemandu karaoke ilegal di malam hari. Tuntutan tersebut harus membuatnya harus menentukan pilihan-pilihan solusi bagi keluarganya.
Selain Siti, ada karakter Sri, juga berprofesi sebagai pemandu karaoke kelas minimalis di daerah pesisir.
Skenario mengarahkan pada permasalahan khas Indonesia, di mana wanita terbentuk oleh kontrak sosial terbatas dalam mengekspresikan diri, serta lebih terbatas dalam menentukan pilihan-pilihan hidup, termasuk jebakan sempitnya kesempatan kerja bagi wanita.
"Film SITI tidak dibuat untuk FFI," kata Eddie Cahyono selaku Sutradara dan penulis cerita.
Sang sutradara beralasan dengan pendanaan materi terbatas hanya kisaran Rp150 juta, maka film tersebut dibuat dengan visualisasi hitam putih.
Kreasi teknis "colouring" hitam-putih film "SITI" justru memperkuat karakter-karakter yang muncul dalam cerita tersebut.
Kekelaman kisah perempuan bernama Siti dapat diwakilkan dengan monotonnya warna yang disajikan, sesuai kehidupan yang dilalui karakter itu setiap harinya.
Cerita yang ditampilkan hanya berkutat pada kemiskinan keluarga nelayan, perjuangan keras, tuntutan ekonomi, pekerjaan melawan norma dan perselingkuhan sebagai pelarian, penampilan kaum proletar.
Tetapi, visualisasi hitam-putih menjadi faktor terkuat dalam membangun rangkaian kurasi permasalahan-permasalahan masyarakat pesisir.
Latar belakang suara yang alami tanpa terlalu banyak musik juga mengesankan kesederhanaan dalam mambangun persuasif ambience bagi penonton.
Konten lokal diperkuat dalam film ini, selain dari teknis editing juga pemilihan bahasa Jawa untuk menunjukkan originalitas film yang bersetting di pesisir Parangtritis, Yogyakarta ini.
Hampir sekitar 80 persen sepanjang film kebanyakan tokoh menggunakan dialog bahasa Jawa.
Menurut keterangan yang dihimpun, proses pengambilan gambar film ini hanya memakan waktu enam hari. Tetapi teknis dan detail dari teknik pengambilan gambar yang digunakan tidak ala kadarnya.
Teknik "one shoot one take" dipakai dalam film ini, dengan sudut pandang selalu mengikuti subyek utama dalam satu kali adegan, walaupun jika salah adegan berarti harus benar diulang dari awal, tanpa cut.
Sutradara beralasan dengan teknik ini mampu menyajikan arahan fokus penonton pada kekuatan karakter utama dalam menjalani kesibukan sehari-hari sebagi seorang ibu dan tulang punggung keluarga beserta dilematika kisah dibaliknya.
Beberapa kali dengan teknik sekali ambil gambar ini berisiko mengalami kebocoran gambar atau terlihatnya "crew" film dalam adegan, namun teknis ini mampu dilalui dengan baik bahkan ketika sudut pandang ini berhadapan langsung dengan cermin dalam suatu adegan, dan kameramen tidak nampak memantul dari cermin tersebut.
Akrobatis teknis ini kemungkinan yang membuat salah satu unsur Film SITI yang mampu bersaing dengan kompetisi Internasional. Efek sederhana, namun teknis masnualnya kuat.
Penayangan screening juga akan memunculkan "keanehan" bagi penonton bioskop awam. Penyebabnya adalah film ini ditayangkan dengan rasio gambar 4:3, bukan 16:9 seperti khas layar lebar.
Filosofis dari pilihan tampilan rasio ini adalah untuk mengesankan penonton agar lebih dekat dengan kehidupan SITI, sebab dengan 4:3 tampilan obyek lebih membesar dan tidak melebar menonjolkan lingkungan tetapi subyek cerita.
Beberapa perjalanan poSITIf yang dilalui "SITI" adalah menang di Singapore International Film Festival 2014 untuk kategori Best Performance for Silver Screen Award (Sekar Sari).
International Film Festival 2015 untuk kategori Best Scriptwriter (Eddie Cahyono) dan Best Cinematographer (Ujel Bausad).
Kemudian, ajang Apresiasi Film Indonesia 2015, kategori Film Fiksi Panjang Terbaik dan Poster Film Terbaik. Selanjutnya, 19th Toronto Reel Asian International Film Festival 2015, Honourable Feature Mention.
9th Warsaw Five Flavours Film Festival 2015 kategori Special Mention. Dan terakhir, menang dalam Festival Film Indonesia 2015, untuk kategori Film Terbaik, Penulis Skenario Asli Terbaik, Penata Musik Terbaik, Sinematografi Terbaik (nominasi).
Siti harus berjuang melunasi utang sekaligus merawat anak mereka Bagas (Bintang Timur Widodo) yang masih sekolah SD.
Dia tidak punya pekerjaan tetap, hanya berjualan "peyek" atau keripik di siang hari dan sebagai seorang pemandu karaoke ilegal di malam hari. Tuntutan tersebut harus membuatnya harus menentukan pilihan-pilihan solusi bagi keluarganya.
Selain Siti, ada karakter Sri, juga berprofesi sebagai pemandu karaoke kelas minimalis di daerah pesisir.
Skenario mengarahkan pada permasalahan khas Indonesia, di mana wanita terbentuk oleh kontrak sosial terbatas dalam mengekspresikan diri, serta lebih terbatas dalam menentukan pilihan-pilihan hidup, termasuk jebakan sempitnya kesempatan kerja bagi wanita.
"Film SITI tidak dibuat untuk FFI," kata Eddie Cahyono selaku Sutradara dan penulis cerita.
Sang sutradara beralasan dengan pendanaan materi terbatas hanya kisaran Rp150 juta, maka film tersebut dibuat dengan visualisasi hitam putih.
Kreasi teknis "colouring" hitam-putih film "SITI" justru memperkuat karakter-karakter yang muncul dalam cerita tersebut.
Kekelaman kisah perempuan bernama Siti dapat diwakilkan dengan monotonnya warna yang disajikan, sesuai kehidupan yang dilalui karakter itu setiap harinya.
Cerita yang ditampilkan hanya berkutat pada kemiskinan keluarga nelayan, perjuangan keras, tuntutan ekonomi, pekerjaan melawan norma dan perselingkuhan sebagai pelarian, penampilan kaum proletar.
Tetapi, visualisasi hitam-putih menjadi faktor terkuat dalam membangun rangkaian kurasi permasalahan-permasalahan masyarakat pesisir.
Latar belakang suara yang alami tanpa terlalu banyak musik juga mengesankan kesederhanaan dalam mambangun persuasif ambience bagi penonton.
Konten lokal diperkuat dalam film ini, selain dari teknis editing juga pemilihan bahasa Jawa untuk menunjukkan originalitas film yang bersetting di pesisir Parangtritis, Yogyakarta ini.
Hampir sekitar 80 persen sepanjang film kebanyakan tokoh menggunakan dialog bahasa Jawa.
Menurut keterangan yang dihimpun, proses pengambilan gambar film ini hanya memakan waktu enam hari. Tetapi teknis dan detail dari teknik pengambilan gambar yang digunakan tidak ala kadarnya.
Teknik "one shoot one take" dipakai dalam film ini, dengan sudut pandang selalu mengikuti subyek utama dalam satu kali adegan, walaupun jika salah adegan berarti harus benar diulang dari awal, tanpa cut.
Sutradara beralasan dengan teknik ini mampu menyajikan arahan fokus penonton pada kekuatan karakter utama dalam menjalani kesibukan sehari-hari sebagi seorang ibu dan tulang punggung keluarga beserta dilematika kisah dibaliknya.
Beberapa kali dengan teknik sekali ambil gambar ini berisiko mengalami kebocoran gambar atau terlihatnya "crew" film dalam adegan, namun teknis ini mampu dilalui dengan baik bahkan ketika sudut pandang ini berhadapan langsung dengan cermin dalam suatu adegan, dan kameramen tidak nampak memantul dari cermin tersebut.
Akrobatis teknis ini kemungkinan yang membuat salah satu unsur Film SITI yang mampu bersaing dengan kompetisi Internasional. Efek sederhana, namun teknis masnualnya kuat.
Penayangan screening juga akan memunculkan "keanehan" bagi penonton bioskop awam. Penyebabnya adalah film ini ditayangkan dengan rasio gambar 4:3, bukan 16:9 seperti khas layar lebar.
Filosofis dari pilihan tampilan rasio ini adalah untuk mengesankan penonton agar lebih dekat dengan kehidupan SITI, sebab dengan 4:3 tampilan obyek lebih membesar dan tidak melebar menonjolkan lingkungan tetapi subyek cerita.
Beberapa perjalanan poSITIf yang dilalui "SITI" adalah menang di Singapore International Film Festival 2014 untuk kategori Best Performance for Silver Screen Award (Sekar Sari).
International Film Festival 2015 untuk kategori Best Scriptwriter (Eddie Cahyono) dan Best Cinematographer (Ujel Bausad).
Kemudian, ajang Apresiasi Film Indonesia 2015, kategori Film Fiksi Panjang Terbaik dan Poster Film Terbaik. Selanjutnya, 19th Toronto Reel Asian International Film Festival 2015, Honourable Feature Mention.
9th Warsaw Five Flavours Film Festival 2015 kategori Special Mention. Dan terakhir, menang dalam Festival Film Indonesia 2015, untuk kategori Film Terbaik, Penulis Skenario Asli Terbaik, Penata Musik Terbaik, Sinematografi Terbaik (nominasi).
Pewarta: Afut Syafril
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016
Tags: