Bandung (ANTARA News) - Dinas Sosial Provinsi Jawa Barat menyatakan sekitar 47 persen dari 159 warga Jawa Barat pengikut organisasi masyarakat Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) adalah anak-anak dan bayi.

"Dengan rincian sebanyak 32 orang berasal dari Bekasi, 28 orang dari Depok, 17 orang dari Bandung, 14 orang dari Subang, 12 orang dari Majalengka, 8 orang dari Sukabumi, 7 orang dari Cianjur, 6 orang dari Tasikmalaya, 5 orang dari Ciamis, satu orang dari Karawang, satu orang dari Cirebon," kata Kepala Dinas Sosial Jawa Barat Arifin HK, di Bandung, Senin.

Dinas Sosial mempunyai empat balai untuk dijadikan panti penampung para anggota Gafatar asal Jawa Barat tapi hasil identifikasi awal menyebutkan sebagian besar anggota enggan dipulangkan ke kampung halamannya.

"Selama ini ada citra negatif Gafatar yang menjadi ganjelan psikologis, kalau boleh memilih mereka ingin pulang kembali ke Kalimantan bukan ke Jabar," katanya.

Menurut Arifin selain trauma healing, para anggota juga akan mendapatkan wawasan soal Islam dari MUI dan wawasan kebangsaan dari Kesbangpol dan Dinsos Jawa Barat bertugas menyediakan kebutuhan sehari-hari.

Sementara itu, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Barat siap membina dan memfasilitasi 159 orang anggota ormas Gafatar asal Jawa Barat yang ditampung di Rumah Perlindungan dan Trauma Center Bambu Apus, Jakarta Timur.

"Jadi sebelum dipulangkan ke daerahnya masing-masing, para anggota Gafatar terlebih dulu akan ditampung di panti sosial untuk mendapatkan trauma healing pasca diusir dari Kalimantan," kata Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan.

Pemprov Jabar saat ini sedang melakukan identifikasi kepada para anggota Gafatar yang ditampung di DKI Jakarta dan ini sebagai dasar untuk menentukan langkah terbaik bagi masa depan para anggota.

"Kami sedang lakukan identifikasi, untuk selanjutnya ditampung di panti-panti milik Dinsos. Nanti, akan dihilangkan dulu traumanya," ujar dia.

Menurut dia lamanya penampungan para anggota Gafatar akan disesuaikan dengan kebutuhan karena bukan perkara mudah untuk memulangkan para anggota Gafatar ke daerah asalnya masing-masing.

"Banyak anggota yang memilih untuk tidak pulang karena takut dan malu terhadap keluarga serta masyarakat karena bergabung dengan Gafatar," katanya.

Setelah diusir dari Kalimantan Barat, para anggota juga sudah tidak punya harta benda untuk dijadikan pegangan hidup di kampung halaman.

"Sehingga perlu perlakuan khusus, kita akan komunikasikan dengan kampung asalnya masing-masing supaya para anggota bisa diterima kembali," katanya.

Oleh karena itu, Aher mengusulkan agar para anggota Gafatar bisa menjadi peserta transmigran lokal di luar Kalimantan dan cara ini dinilai tepat agar para anggota punya pengharapan baru.

"Tapi usulan tersebut mesti mendapat persetujuan dari pemerintah pusat melalui Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi. Semoga program transmigrasi di 2016 ini bisa diisi oleh mereka (anggota Gafatar)," katanya.