Jakarta (ANTARA News) - Malam itu, tepatnya 20 Januari 2016, di dalam Galeri Kesenian Jakarta, tak ada tata panggung yang terlampau megah, hanya ada tiga podium yang ditempatkan di bawah panggung yang biasa menjadi tempat pertunjukan utama.




Di podium tengah yang juga tertinggi di antara lainnya berdiam Oskar, piano digital kesayangan Leilani Hermiasih. Sementara panggung sisi kiri penonton masih kosong tak bertuan dan gitar akustik terpaku di sebelah dua kursi dan dua mikrofon.




Setelah sebuah suara dari pengeras mengumumkan bahwa konser akan segera dimulai, Ari Malibu dan Reda Gaudiamo, mendekati panggung yang berisikan gitar, mikrofon dan kursi. Duet kawakan yang tergabung dalam Ari Reda itu diminta menjadi penampil pembuka Konser Tentang Rasa yang digelar Frau.




Dengan harmonisasi suara keduanya diiringi petikan gitar Ari -yang sungguh mengingatkan gaya Simon & Garfunkel-, duet itu membawakan lima nomor musikalisasi puisi.




Tiga di antaranya karya Sapardi Djoko Damono yakni "Pada Suatu Hari Nanti", "Kartu Pos Bergambar Jembatan Golden Gate San Fransisco" dan "Hujan Bulan Juni" serta "Kupu-Kupu" gubahan Mozasa dan puisi Toto Sudartono, "Gadis Peminta".




Meminta Ari Reda menjadi penampil pembuka untuk Frau merupakan satu keputusan yang tepat. Pasalnya musik Ari Reda juga terdiri hanya dari satu instrumen, laiknya Lani yang "hanya" membelai-belai tuts-tuts Oskar sebagai Frau.




Yang terlihat kemudian adalah serupa penyerahan tongkat estafet dari satu instrumen, gitar, kepada instrumen berikutnya, piano.




Segera setelah Ari Reda meminta diri, serombongan panitia mulai berkeliling membagikan secarik kertas dan sebatang pensil, alat-alat yang disiapkan untuk "meminta" kesan dan pesan dari para penonton pertunjukan tersebut. Sebuah cara yang cukup unik untuk mengingatkan tali ingatan para penonton dengan pertunjukan ini.




Ruangan kemudian mendadak gelap gulita, hampir seluruh lampu padam dan Lani, demikian panggilan akrab Leilani, keluar dari salah satu pintu yang terdapat di papan dekorasi panggung, menenteng lentera di tangan kirinya. Lentera yang menjadi satu-satunya sumber cahaya di ruangan tersebut.




Kemudian Lani duduk menghadapi Oskar dan membuka rangkaian konsernya dengan tiga nomor, yakni sebuah lagu berjudul "Sembunyi", serta musikalisasi puisi "Berdiri Aku" karya Amir Hamzah dan "Berita Perjalanan" karya Sitor Situmorang.




Komposisi serupa juga sempat dibawakan Frau saat menggelar Konser Tentang Rasa di Bandung pada Mei 2015 silam.




Lani lantas mengingatkan kembali kepada khalayak GKJ yang mampu memuat sekira 475 penonton itu bahwa Frau adalah nama panggung yang terdiri atas dua personel, yakni Lani dan Oskar, piano digital Roland RD700SX kesayangannya.




Sejak mengusung nama panggung Frau pada 2008, Lani dan Oskar sudah menelurkan dua album penuh yakni "Starlit Carousel" (2010) dan "Happy Coda" (2013).




"Sembunyi" yang menjadi bagian formasi pembuka Frau, merupakan lagu yang tidak termasuk dalam album penuh manapun.




Perkenalan singkat itu rasa-rasanya sia-sia, kecuali untuk para orang-orang yang dipaksa pasangannya untuk datang menghadiri Konser Tentang Rasa Jakarta sebagaimana Lani berseloroh, mengingat tiketnya ludes hanya dalam hitungan hari dan bahkan pihak penyelenggara, G-Production, memutuskan untuk menggelar pertunjukan tambahan yang berlangsung lebih awal di hari yang sama.




Usai momen perkenalan tersebut, Frau memainkan "Water" salah satu lagu yang terdapat pada "Happy Coda" sebelum ia membawakan kembali sebuah lagu baru berjudul "Tiada Bunga Merekah".




Lani bercerita bahwa penciptaan lagu "Tiada Bunga Merekah" itu terinspirasi dari salah seorang puisi temannya yang diciptakan lantaran terinspirasi sebuah puisi lain. Inspirasi menjalar dan memantik inspirasi baru.




Selepas itu, Lani memanggil seorang temannya, Erson Padapiran, yang menenteng sebuah terompet. Didampingi Erson, Frau memainkan "Mr. Wolf" dari "Happy Coda" dan "I'm A Sir" dari "Starlit Carousel". Isian terompet yang ditiup Erson memberikan warna berbeda kedua lagu tersebut dibandingkan versi albumnya. Terlebih lagi, Erson di tiap pengujung lagu menutupnya dengan nada terompet yang cukup jenaka.




Dua lagu itu ternyata menjadi penutup paruh pertama penapilan Frau pada Konser Tentang Rasa, sebelum lampu menyala dan rombongan panitia kembali sibuk, kali ini membagikan sebotol berisikan minuman aneka rasa dan diberi label khusus serta secarik kertas lainnya.




Kertas kedua yang diterima para penonton kali ini berisikan potongan lirik lagu baru Frau berjudul "Tukang Jagal". Lani lantas kembali duduk menghadapi Oskar dan mulai memberikan instruksi agar penonton yang menduduki kursi-kursi deretan B hingga K menyanyikan potongan lirik pertama, sementara penonton di deretan kursi L hingga AA menyanyikan potongan lirik kedua.




"Karena ini pianonya cukup susah jadi saya minta teman-teman semua untuk ikut bernyanyi," kata Lani.




Setelah sempat memberikan waktu latihan agar penonton mengetahui bagaimana nada menyanyikan potongan-potongan lirik bagian masing-masing, Frau kemudian mulai memainkan lagu "The Butcher" sebuah lagu baru lainnya yang secara langsung bersambung dengan "Tukang Jagal", di mana penonton betul-betul turut menyumbang suara.




Selanjutnya Frau memainkan lagu baru berjudul "Vietnamese Coffee Trip". Usai itu, Lani kembali memanggil salah seorang penampil pendukung, kali ini adalah Alexandria Deni, mantan vokalis salah satu band indie kawakan dari Yogyakarta, The Monophones.




Frau berduet dengan Deni membawakan lagu baru berjudul "Detik-Detik Anu", meski sayang di awal-awal lagu terasa mereka tak terlalu padu dan baru selaras di pertengahan hingga akhir.




Setelah Deni meninggalkan panggung, "Mesin Penenun Hujan" lagu jagoan yang mengorbitkan nama Frau dimainkan. Lagu tersebut menjadi single pertama Frau di album "Starlit Carousel".




Usai memainkan "Mesin Penenun Hujan", Lani memanggil kwintet pemain alat musik berdawai atau string section yang terdiri dari dua orang violis Fafan Iskandar dan Janu Hari Nugroho, violais Rendi Indrayanto, cellis Dior Perwira Putra dan contrabassis Dwipa Hanggana Prabawa. Bersama kwintet tersebut, Frau memainkan "Suspens" dan "Layang-Layang".




"Suspens" adalah lagu dari album "Happy Coda" dan dengan kehadiran string section memunculkan warna berbeda termasuk dengan sahut-sahutan para penyayat alat-alat musik berdawai itu, yang bahkan seolah mencuri sorotan lampu utama dari Oskar.




Namun di bagian interlude Oskar kembali menjadi bintang utama konser saat tuts-tuts hitam putihnya dibelai-belai mesra dan cermat oleh Lani.




Sementara "Layang-Layang" adalah sebuah lagu baru yang rencananya akan masuk ke dalam album berikutnya dari Frau, dan menurut Lani gubahannya turut dibantu oleh Jeremia "Jimi" Kimoshabe dari duo instrumental asal Yogyakarta, Bad Cellists.




Dari seluruh lagu baru yang dimainkan Frau dalam Konser Tentang Rasa, "Layang-Layang" merupakan kandidat terkuat untuk dijadikan nomor jagoan apabila album berikutnya rampung.




Lagu jagoan album "Happy Coda", "Tarian Sari", kemudian dimainkan serampung kwintet meninggalkan panggung yang disusul "Sepasang Kekasih Yang Pertama Bercinta Di Luar Angkasa", lagu yang dicover Frau di album "Starlit Carousel" dari lagu aslinya milik grup band indie Yogyakarta, Melancholic Bitch.




Lani yang di versi album berduet dengan vokalis Melancholic Bitch, Ugoran Prasad, pada Konser Tentang Rasa melahap sendirian "Sepasang Kekasih Yang Pertama Bercinta Di Luar Angkasa" dan memainkan bagian interlude tetap dengan cermat dan sempurna membius seluruh penonton.




"Arah" yang berasal dari "Happy Coda" menjadi lagu penutup Konser Tentang Rasa Frau malam itu.




Multiinderawi

Dalam satu kesempatan berbicara di jeda antar lagu, Lani mengaku ingin mengusung konsep yang sedikit berbeda dalam Konser Tentang Rasa.




"Belakangan saya merasa persepsi musikal semakin terbatas pada persoalan apa-apa yang kita dengarkan saja, mungkin karena kita semakin dekat dengan earphone ataupun speaker yang teronggok di hadapan kita," kata Lani.




"Seolah-olah musik itu hanya sesuatu yang kita dengarkan saja. Padahal musik itu sesuatu yang seharusnya bisa dinikmati secara penuh dengan seluruh fungsi inderawi kita," tutur Lani.




Oleh karena itu, ia bersama pihak panitia berusaha menghadirkan pengalaman musikal yang melibatkan hampir seluruh fungsi inderawi para penonton yang hadir.




Minuman botol aneka rasa dan tata cahaya artistik yang dirancang oleh Banjar Tri Andaru misalnya, merupakan bagian dari ajakan Frau untuk mengoptimalkan fungsi inderawi penonton kala menikmati musik-musik yang disajikan.




Frau juga sempat menyebutkan bahwa panitia menghadirkan aroma-aroma yang seharusnya bisa dihidu oleh para penonton.




Namun sayang pelaksanaannya kurang optimal, karena dari tempat awak media termasuk ANTARA News diberi kesempatan menonton di lantai dua, aroma-aroma itu tak terhidu. Bahkan beberapa penonton yang duduk di bawah namun ada di deretan kedua terjauh dari panggung juga mengaku hanya samar-samar mendapati aroma-aroma tersebut.




Kertas "Kesan Tentang Rasa" yang dibagikan sebelum Lani memasuki panggung, diharapkan diisi oleh penonton untuk menyampaikan impresi apa yang diperoleh saat mereka mendengarkan satu lagu ataupun keseluruhan jalannya konser.




Interaksi nonoptimal

Kolaborasi dan interaksi menjadi dua hal yang patut disoroti dalam jalinan Konser Tentang Rasa.




Kehadiran penampil pendukung, termasuk Erson sang peniup terompet, Deni teman duet Lani di "Detik-Detik Anu" dan kwintet penyayat alat musik dawai cukup menghadirkan warna berbeda dari penampilan panggung Frau yang notabene hanya bermodalkan denting Oskar sang piano dan suara Lani sang vokalis semata.




Sayangnya, warna berbeda itu hanya hadir di secara keseluruhan lima dari 17 lagu yang dimainkan pada Konser Tentang Rasa. Sementara sisanya, seolah tak ubahnya sebuah resital. Penonton sepi senyap.




Lani memang sempat mengakalinya dengan mengajak penonton urun suara pada "Tukang Jagal", namun itulah satu-satunya waktu di mana suara berupa nada keluar dari mulut penonton.




Di waktu-waktu lainnya, suara yang dihasilkan penonton hanya berupa tepuk tangan dan sorakan di akhir lagu, serta gelak tawa saat Lani melemparkan lelucon di jeda antar lagu.




Tak ada proses singalong tanpa ajakan laiknya sebuah konser-konser musik yang dihadiri anak muda. Nomor "Sepasang Kekasih Yang Pertama Bercinta Di Luar Angkasa" yang sudah jelas ditinggalkan separuh ruhnya, lantaran Ugo masih menempuh pendidikan di Negeri Paman Sam sana, hampir kehilangan daya magisnya.




Seharusnya penonton sedikit berani untuk mengisi bagian Ugo dan menyanyikannya bersama-sama, bukan sekadar menikmati dan menunggu hingga Lani selesai membelai-belai Oskar demi menyampaikan tepuk tangan dan sorakan semata.




Kalau bukan karena kesempurnaan Lani memainkan bagian interlude, lagu "Sepasang Kekasih Yang Pertama Bercinta Di Luar Angkasa" di Konser Tentang Rasa bisa lebih mengecewakan lagi.




Boleh jadi memang para penikmat Frau adalah orang yang lebih suka mendengarkan lagu-lagu yang dimainkan ketimbang ikut menyanyikannya bersama-sama, membentuk koor dadakan di beberapa bagian lagu-lagu jagoan.




Tapi ada keuntungan tersendiri dengan betapa senyapnya para penonton di pertengahan lagu, kalau-kalau pihak panitia atau Frau sendiri berniat untuk merilis album versi live Konser Tentang Rasa.