Revisi UU Terorisme jangan bungkam kebebasan
21 Januari 2016 12:07 WIB
Petugas Gegana Polda Metro Jaya membawa plastik yang mencurigakan di lokasi ledakan Pos Polisi Sarinah, Jakarta, Kamis (14/1). Aksi teror berupa penembakan dan pengeboman terhadap beberapa gedung dan pos polisi di kawasan Sarinah itu mengakibatkan sejumlah korban tewas dan luka-luka. ANTARA FOTO/Wahyu Putro A/foc/16. ()
Purwokerto (ANTARA News) - Wacana revisi Undang-Undang Terorisme jangan sampai membungkam kebebasan, kata pakar hukum Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Prof. Hibnu Nugroho.
"Menurut saya, namanya revisi itu suatu yang tidak dapat dipungkiri karena perkembangan dinamika masyarakat, perkembangan hukum, perkembangan politik hukum. Tetapi yang jadi catatan, jangan sampai revisi ini (revisi UU Terorisme, red.) akan membungkam kebebasan," katanya kepada Antara di Purwokerto, Jawa Tengah, Kamis.
Ia mengatakan hal itu terkait munculnya wacana revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang menyusul maraknya aksi teror di sejumlah daerah khususnya di kawasan Sarinah, Jakarta, pada tanggal 14 Januari 2016.
Oleh karena itu, kata dia, tidak masalah jika UU Terorisme itu direvisi selama tidak dijadikan alat oleh penegak hukum untuk menimbulkan ketakutan.
"Kita jangan mengulang (pengalaman) tahun-tahun yang lalu karena undang-undang itu kalau sudah keras sekali, ibarat pisau bermata dua. Jadi, kalau itu (revisi, red.) dilakukan, oke tapi harus mendengar aspirasi masyarakat maupun tokoh-tokoh hak asasi manusia," katanya.
Saat ditanya mengenai kemungkinan intelijen diberi kewenangan untuk menangkap terduga teroris, Hibnu mengatakan bahwa hal itu belum saatnya dilakukan.
"Saya kira itu (kewenangan intelijen menangkap terduga teroris, red.) akan berlebihan nanti. Makanya ini agak berbahaya kalau revisinya kebablasan karena era sekarang adalah era keterbukaan, era berekspresi," tegasnya.
Menurut dia, sebenarnya ada rasa ketakutan di masyarakat sehingga semua pihak harus duduk bersama dalam pembahasan revisi UU Terorisme itu.
Ia mengatakan bahwa pemberian kewenangan kepada intelijen untuk menangkap terduga teroris sebenarnya bisa dilakukan namun untuk saat ini cukup dilakukan oleh kepolisian karena yang terpenting adalah pencegahannya.
Disinggung mengenai tindakan polisi menembak mati pelaku teror seperti yang terjadi saat aksi teror di kawasan Sarinah, dia mengatakan bahwa hal itu memang harus dilakukan sebagai bentuk tindakan polisi terhadap suatu perbuatan yang dinilai membahayakan.
"Jika memang terpaksa (menembak mati), undang-undang membolehkan," jelas Gurubesar Fakultas Ilmu Hukum Unsoed Purwokerto itu.
Kendati demikian, dia mengatakan bahwa polisi sebaiknya jangan sampai menembak mati para pelaku teror agar bisa mengungkap jaringan mereka.
Terkait hal itu, Hibnu mengatakan bahwa teknik-teknik menembak yang dilakukan penegak hukum perlu dievaluasi.
"Sebaiknya tembakan itu untuk melumpuhkan. Tembak mati itu pilihan terakhir jika memang dinilai membahayakan," katanya.
"Menurut saya, namanya revisi itu suatu yang tidak dapat dipungkiri karena perkembangan dinamika masyarakat, perkembangan hukum, perkembangan politik hukum. Tetapi yang jadi catatan, jangan sampai revisi ini (revisi UU Terorisme, red.) akan membungkam kebebasan," katanya kepada Antara di Purwokerto, Jawa Tengah, Kamis.
Ia mengatakan hal itu terkait munculnya wacana revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang menyusul maraknya aksi teror di sejumlah daerah khususnya di kawasan Sarinah, Jakarta, pada tanggal 14 Januari 2016.
Oleh karena itu, kata dia, tidak masalah jika UU Terorisme itu direvisi selama tidak dijadikan alat oleh penegak hukum untuk menimbulkan ketakutan.
"Kita jangan mengulang (pengalaman) tahun-tahun yang lalu karena undang-undang itu kalau sudah keras sekali, ibarat pisau bermata dua. Jadi, kalau itu (revisi, red.) dilakukan, oke tapi harus mendengar aspirasi masyarakat maupun tokoh-tokoh hak asasi manusia," katanya.
Saat ditanya mengenai kemungkinan intelijen diberi kewenangan untuk menangkap terduga teroris, Hibnu mengatakan bahwa hal itu belum saatnya dilakukan.
"Saya kira itu (kewenangan intelijen menangkap terduga teroris, red.) akan berlebihan nanti. Makanya ini agak berbahaya kalau revisinya kebablasan karena era sekarang adalah era keterbukaan, era berekspresi," tegasnya.
Menurut dia, sebenarnya ada rasa ketakutan di masyarakat sehingga semua pihak harus duduk bersama dalam pembahasan revisi UU Terorisme itu.
Ia mengatakan bahwa pemberian kewenangan kepada intelijen untuk menangkap terduga teroris sebenarnya bisa dilakukan namun untuk saat ini cukup dilakukan oleh kepolisian karena yang terpenting adalah pencegahannya.
Disinggung mengenai tindakan polisi menembak mati pelaku teror seperti yang terjadi saat aksi teror di kawasan Sarinah, dia mengatakan bahwa hal itu memang harus dilakukan sebagai bentuk tindakan polisi terhadap suatu perbuatan yang dinilai membahayakan.
"Jika memang terpaksa (menembak mati), undang-undang membolehkan," jelas Gurubesar Fakultas Ilmu Hukum Unsoed Purwokerto itu.
Kendati demikian, dia mengatakan bahwa polisi sebaiknya jangan sampai menembak mati para pelaku teror agar bisa mengungkap jaringan mereka.
Terkait hal itu, Hibnu mengatakan bahwa teknik-teknik menembak yang dilakukan penegak hukum perlu dievaluasi.
"Sebaiknya tembakan itu untuk melumpuhkan. Tembak mati itu pilihan terakhir jika memang dinilai membahayakan," katanya.
Pewarta: Sumarwoto
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2016
Tags: