Akademisi: GBHN masih diperlukan
18 Januari 2016 09:48 WIB
Badan Pengkajian MPR tentang "Reformulasi Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional model GBHN Sebagai Pelaksanaan Azas Kedaulatan Rakyat" bersama 20 akademisi dari Universitas Pattinson, Universitas Darrussalam dan Universitas Kristen Indonesia Maluku di Hotel Swiss Bell, Jalan Benteng Kanada, Ambon. (ANTARA News/Ida Nurcahyani)
Solo (ANTARA News) - Seorang guru besar mengatakann Garis Besar Haluan Negara (GBHN) diperlukan untuk menghindari adanya kebijakan-kebijakan presiden yang menjauh dari cita-cita konstitusi negara.
"Ya seperti sekarang ini, tanpa adanya GBHN, tidak ada panduan yang jelas kemana negara ini akan dibawa," kata Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Sebelas Maret Solo (UNS) Prof. Muhammad Jamin di kampusnya Kentingan, Solo, Senin.
Ia mengatakan visi misi presiden seringkali sangat berkepentingan muatan politik dan kepentingan kelompok partai yang berkuasa. Padahal dulu, sebelum amandemen, jelas bahwa MPR menyusun GBHN sebagai arah pembangunan Indonesia jangka menengah dan panjang.
"Ya problematiknya sekarang adalah Undang-Undang Dasar kita ini tidak ada lagi norma yang mengatakan melaksanakan GBHN yang dibuat oleh MPR. Kalau ingin menghidupkan lagi GBHN, maka harus mengamandemen Undang-Undang Dasar. Artinya, perlu amandemen Undang-Undang Dasar untuk memberi kewenangan, sehingga dari sisi ketatanegaraan tidak salah, bahwa MPR memiliki kewenangan menyusun GBHN," katanya.
Ia mengatakan sekalipun presiden nantinya tidak bertanggung jawab misalnya kepada MPR, karena tidak mandataris MPR, tetapi setidaknya presiden mempunyai gambaran panduan yang jelas dalam menjalankan pemerintahan.
"Ya itulah menurut saya relevan dihidupkannya GBHN," kata Muhammad Jamin yang sekarang juga menjabat sebagai Wakil Rektor II UNS.
Relevansi GBHN menjadi penting, supaya kebijakan presiden diturunkan dari GBHN. Artinya presiden mencalonkan diri karena mengusung visi misi, maka visi misi mengacu pada arah di dalam GBHN. Karena GBHN merupakan konstitusi cita-cita Indonesia bernegara.
"Ya seperti sekarang ini, tanpa adanya GBHN, tidak ada panduan yang jelas kemana negara ini akan dibawa," kata Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Sebelas Maret Solo (UNS) Prof. Muhammad Jamin di kampusnya Kentingan, Solo, Senin.
Ia mengatakan visi misi presiden seringkali sangat berkepentingan muatan politik dan kepentingan kelompok partai yang berkuasa. Padahal dulu, sebelum amandemen, jelas bahwa MPR menyusun GBHN sebagai arah pembangunan Indonesia jangka menengah dan panjang.
"Ya problematiknya sekarang adalah Undang-Undang Dasar kita ini tidak ada lagi norma yang mengatakan melaksanakan GBHN yang dibuat oleh MPR. Kalau ingin menghidupkan lagi GBHN, maka harus mengamandemen Undang-Undang Dasar. Artinya, perlu amandemen Undang-Undang Dasar untuk memberi kewenangan, sehingga dari sisi ketatanegaraan tidak salah, bahwa MPR memiliki kewenangan menyusun GBHN," katanya.
Ia mengatakan sekalipun presiden nantinya tidak bertanggung jawab misalnya kepada MPR, karena tidak mandataris MPR, tetapi setidaknya presiden mempunyai gambaran panduan yang jelas dalam menjalankan pemerintahan.
"Ya itulah menurut saya relevan dihidupkannya GBHN," kata Muhammad Jamin yang sekarang juga menjabat sebagai Wakil Rektor II UNS.
Relevansi GBHN menjadi penting, supaya kebijakan presiden diturunkan dari GBHN. Artinya presiden mencalonkan diri karena mengusung visi misi, maka visi misi mengacu pada arah di dalam GBHN. Karena GBHN merupakan konstitusi cita-cita Indonesia bernegara.
Pewarta: Joko Widodo
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2016
Tags: