Jakarta (ANTARA News) - "Di samping saya ada seorang bidadari," kata pelukis besar Srihadi Soedarsono saat ditanya tentang kunci sukses dalam hidup dan kariernya.

Bidadari yang dimaksud Srihadi tak lain adalah istrinya, Siti Farida Srihadi, yang terus memegang erat lengan kiri sang maestro saat jumpa pers tentang rencana pameran tunggal Srihadi yang bertajuk "70 Tahun Rentang Kembara Roso", Rabu.

Farida, yang kompak mengenakan pakaian serba putih dengan sang suami, kerap mewakili Srihadi mengemukakan pendapat atau menceritakan perjalanan hidupnya.

Ia fasih menggambarkan kisah masa kecil Srihadi, bagaimana dia sudah gemar menggambar sejak kecil.

Srihadi pun beberapa kali meminta istrinya menjawab pertanyaan-pertanyaan dari wartawan.

"Kesetiaan istri tidak hanya secara formalitas tetapi dialog itu penting. Pembinaan secara mental sebagai suami istri dipenuhi lewat pembicaraan yang bermutu," kata Farida, lulusan seni rupa dan filsafat.

"Kaum istri harus mengembangkan dan membantu partner secara cerdas. Kami partner yang luar biasa," tambah dia.

Ia juga mengatakan bahwa istri berperan penting dalam memberikan masukan berkualitas bagi suami.

"Kultur kita terutama di Jawa, begitu banyak empu zaman dulu itu luar biasa dari segi pengalaman spiritual dan intelektual. Tanpa itu repot. Dan salah satu yang berperan adalah istri. Maka istri harus cerdas. Kalau suami tidak dapat nutrisi sehat dan berkualitas, secerdas apapun akan sulit. Dialog paling penting adalah kepada keluarga, terutama istri," tutur Farida.


52 tahun mendampingi

Srihadi sudah 70 tahun berkarya, mulai dari masa revolusi kemerdekaan Indonesia (1946-1949), ketika ia berusia empat belas tahun dan menjadi bagian dari Tentara Pelajar di Surakarta, hingga menjadi salah satu maestro lukis Indonesia saat ini.

Farida telah 52 tahun mendampingi Srihadi. Menurut Farida tidak mudah menjadi pendamping hidup seorang seniman yang sudah dikenal di tingkat nasional maupun internasional.

"Sulit, tetapi kalau punya idealisme sulit itu bisa diatasi," kata Farida, yang pertama kali bertemu suaminya di Institut Teknologi Bandung, saat Srihadi menjadi dosen bagian seni rupa dan dia salah satu muridnya.

"Kuncinya sabar. Dalam perkawinan apapun, harus sabar. Idealisme itu harus terus dihidupkan," tambah dia.

Demi mengimbangi Srihadi, ibu dari tiga anak dan nenek dari empat cucu itu mengambil studi master jurusan filsafat di Universitas Indonesia (UI).

"Saya ingin mendampingi Beliau sampai akhir hidup maka saya harus jadi cerdas. Saya ambil master filsafat di UI biar bisa back up dia. Saya belajar terus," tuturnya.

Selama perjalanan kariernya yang panjang, Srihadi telah mendapatkan banyak penghargaan, di dalam maupun luar negeri.

Pencapaian itu bukan tanpa kerja keras. Farida mengungkapkan bahwa Srihadi biasanya langsung masuk ke studio seusai salat subuh.

Begitu memasuki studio, Srihadi tidak langsung melukis. Seniman pemilik gelar profesor itu biasanya merenung seraya mengamati kanvas kosong atau sekedar membersihkan kanvas. Dia baru akan melukis setelah suasana yang enak tercipta.

"Ketika sedang melukis, dia sudah ada di dunia lain. Kita tidak boleh menganggu," ujar Farida.

"Potensinya harus dikembangkan dalam situasi yang betul-betul baik, akomodatif, kalau berantakan maka anugerah yang sudah diberi Tuhan itu tidak bisa diciptakan. Maka harus di-create, sehingga anak-anak selalu dengan saya. Dia benar-benar tidak bisa diganggu. Saya dan anak-anak harus berkorban," jelasnya.

Di sisi lain, lanjut Farida, suaminya selalu memberi contoh kepada anak-anaknya agar menjadi orang yang benar, bertanggung jawab, dan jujur.

"Dia kasih contoh lewat tingkah laku, anak-anak kami sekarang yang menjadi buktinya. Dia bukan tipikal suami yang berbuat macam-macam misal anak sakit ikut ke rumah sakit, tidak. Tetapi anak-anak sejak kecil tahu kalau bapaknya sedang melakukan kerjaan dengan kerja keras," ungkap Farida.


Merayakan

Tanggal 11 sampai 21 Februari mendatang, Srihadi akan merayakan 70 tahun perjalanannya sebagai pelukis dengan pameran "70 Tahun Rentang Kembara Roso" dan peluncuran buku "Srihadi Soenarso: 70 years Journey of Roso" di Galeri Nasional Indonesia.

Pameran tunggal tersebut menurut Srihadi bukan akhir dari perjalanannya sebagai seorang seniman lukis.

"Sekarang saya berusia 84 tahun, keinginan seterusnya akan berkarya di bidang seni rupa. Perjalanan saya tidak berhenti hari ini. Sebagai seniman lukis tidak ada pensiunnya," katanya.

"Yang harus dilanjutkan adalah masalah kualitas, menghasilkan karya seni yang kualitasnya berkembang. Kalau tidak seperti itu, nanti orang bisa bilang mentok," tutur Srihadi, yang lahir di Solo, 4 Desember 1931.

Lagi-lagi ia mengatakan kunci semangatnya adalah sang istri.

"Harus ada orang yang tepat," ujarnya.