Jakarta (ANTARA News) - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) berpendapat, penyelesaian kasus pelanggaran kasus-kasus hak asasi manusia (HAM) merupakan kewajiban negara yang perlu dituntaskan dengan baik dan benar.

"Negara memang barus menyelesaikan karena itu kewajiban negara. Oleh karena itu, rencana Joko Widodo cs bukan sedekah buat korban dan masyarakat, justru sebaliknya penundaan-penundaan ini adalah bentuk pelanggaran hak atas keadilan," kata Koordinator Kontras, Haris Azhar, di Jakarta, Sabtu.

Ia berpendapat bahwa faktor kecepatan memang harus, akan tetapi mesti dalam artian yang logis, antara lain waktu demi waktu dalam penyelesaian harus diisi dengan proses yang seharusnya dan terbuka.

Untuk itu, Koordinator Kontras juga mengeritik target pemerintah yang memberikan "harga mati" selama enam bulan harus selesai untuk penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat.

"Saya khawatir ini hanya akan jadi proses yang miskin akan keadilan yang seutuhnya, gagal memberikan kepuasan baik dalam proses maupun dalam artian substansi hukum. Hanya karena sekadar mau cepat selesai aspek keadilan, kebenaran jadi hilang," katanya.

Selain itu, ia menambahkan, terlepas dari rencana penyelesaian yang hanya enam bulan, sampai sejauh ini, rencana pemerintah hanya berputar-putar dari ucapan sejumlah pejabat dan konsep yang ada dinilai masih belum jelas, tidak transparan, tidak konsultatif, tidak terukur, dan tidak menjawab masalah.

Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) berjanji akan menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM pada tahun 2016.

"Semuanya dituntaskan tahun ini," kata Presiden Jokowi di Istana Negara Jakarta, Jumat (8/1), setelah acara makan bersama wartawan yang bertugas meliput di lingkungan Istana Kepresidenan.

Penuntasan kasus tersebut, menurut Presiden, bersifat menyeluruh dengan menuntaskan semuanya tanpa melihat tahun terjadinya kasus, termasuk juga untuk kasus HAM tahun 1965 yang kerap kali menjadi bahan perbincangan panas sampai saat ini.