Yogyakarta (ANTARA News) - Kamis, 7 Januari 2016 atau dalam penanggalan Jawa 26 Mulud Jimawal 1949 merupakan hari yang bersejarah jika bukan dibilang sakral bagi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Sejak pagi ratusan orang mengenakan pakaian pranakan berlalu lalang di halaman bangunan megah Kadipaten Puro Pakualaman yang merupakan tempat singgah Paku Alam secara turun temurun itu.

Pagi yang cerah itu merupakan jawaban bagi lingkungan Kadipaten Puro Pakualaman yang akan memiliki adipati baru sepeninggalan KGPAA Paku Alam IX.

Bagi warga Yogyakarta, pagi itu merupakan titik terang pengisi jabatan wakil gubernur DIY yang kini masih kosong.

Prosesi "jumenengan" atau penobatan seorang Adipati baru itu kembali dihelat setelah 17 tahun masyarakat Yogyakarta tidak menjumpai hajatan besar itu.

Pangeran Pati Kanjeng Bendoro Pangeran Haryo (KBPH) Prabu Suryodilogo yang merupakan putra tertua almarhum KGPAA Paku Alam IX, hari itu juga dinobatkan sebagai KGPAA Paku Alam X.

Hanya sekitar 1.200 undangan yang disebar untuk menghadiri dan menyaksikan peristiwa budaya itu dari dekat, selain para panitia, tim keamanan, serta awak media.

"Ini upacaranya, upacara adat, jadi tidak untuk umum," kata seorang kerabat Pakualaman, yang juga ketua panitia I bidang adat Jumemengan Dalem KGPAA Paku Alam X, Kanjeng Pangeran Haryo (KPH) Indro Kusumo.

Suryodilogo
KBPH Prabu Suryodilogo lahir pada Sabtu, 15 Desember 1962 dengan nama Raden Mas Wijiseno Hario Bimo. Ia merupakan anak tertua KGPAA Paku Alam IX dengan GKBRA A. Paku Alam IX.

Alumnus Fakultas Ekonomi Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Yogyakarta itu mengawali karirnya sebagai PNS pada 1991 di Dinas Tenaga Kerja Setwilda Yogyakarta hingga menjabat Kepala Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat dan Kemasyarakatan Pemda DIY, sampai sekarang.

Suryodilogo diangkat sebagai putra mahkota atau calon penerus kepemimpinan Kadipaten Pakualaman pada 2012, bertepatan dengan peringatan Tingalan Dalem ke 76 tahun KGPAA Paku Alam IX di Bangsal Sewatama, Puro Pakualaman.

Sinar matahari mulai terik. Sejak pukul 08.00 WIB tamu undangan dari kalangan pejabat pemerintahan, perwakilan kerajaan-kerajaan Nusantara, serta para tokoh masyarakat berangsur tiba di lingkungan Kadipaten Puro Pakualaman yang telah dipenuhi suara gending-gending Jawa.

Pejabat pemerintahan yang datang pagi itu di antaranya Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Basweddan, Menteri Sekretaris Negara Pratikno, serta Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo.

Selain itu hadir pula gubernur DIY yang juga Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Sri Sultan HB X, serta gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Para tokoh seperti ketua umum PDIP Megawati Soekarnoputri, mantan ketua umum PP Mumammadiyah Syafii Maarif juga tidak ketinggalan hadir.

Resmi Paku Alam X
Sebelum menjalani penobatan, KBPH Prabu Suryodilogo mengenakan busana kebesaran Adipati Paku Alam di gedung Maerakaca, lalu bersemedi di pendapa Sewarengga.

Setelah itu, dia berjalan melalui Witana, yakni teras dari pendapa Sewarengga menuju Dalem Ageng Prabasuyasa. Di sana dia mengenakan kelengkapan karset (kalung) dan cincin kagungan dalem.

Kemudian berjalan menuju Bangsal Sewatama didahului kerabat dalem yang membawa tombak Kanjeng Kyai Buyut dan Kanjeng Kyai Paku Baru. Keduanya pusaka utama Kadipaten Pakualaman yang diturunkan mulai dari Paku Alam I.

Setelah tiba di Bangsal Sewatama, tempat penobatan berlangsung, Suryodilogo belum diperkenankan duduk disinggasana, melainkan harus duduk di sisi kanan bangsal.

Tepat pukul 09.00 WIB, acara penobatan dibuka dengan lantunan ayat suci Al-Quran. Setelah itu, dilanjutkan dengan pembacaan Undhang atau keputusan dari Kawedanan Hageng Kasentanan Kadipaten Pakualaman oleh Pangeran Sentana Kadipaten Pakualaman, K.P.H Jumartani. Isinya menyatakan bahwa KBPH Suryodilogo resmi denobatkan sebagai KGPAA Paku Alam X.

Sesepuh sentana K.P.H Notoatmojo dengan disaksikan seluruh tamu undangan lalu menyematkan pusaka Keris Kyai Bontit di pinggang Paku Alam X, serta bros Bintang Sestra Notokusumo sebagai lambang pemangku serta pengayom seluruh putra, kerabat, abdi dalem, serta sentana dalem Kadipaten Puro Pakualaman.

K.G.P.A.A Paku Alam X selanjutnya membacakan "Sabda Dalem" yang berisi visi-misi dalam memimpin Kadipaten Puro Pakualaman.

"Saya sampaikan dengan jujur bahwa kewajiban yang akan saya laksanakan adalah tugas yang berat karena saya akan melanjutkan kewajiban leluhur Mataram sebagai pengemban kebudayaan," kata Paku Alam X dalam "Sabda Dalem" yang ia bacakan.

Setelah pembacaan "Sabda Dalem", dilanjutkan dengan pemberian gelar kepada permaisuri dan rayi-rayi dalem.

Prosesi jumenengan yang berlangsung sekitar satu jam tersebut selanjutnya ditutup dengan tarian "Bedhaya Panji Angranakung" yang dibawakan tujuh orang penari.

Siang harinya, sekitar pukul 14.00 WIB Paku Alam X dikirab dengan menaiki kereta pusaka Kyai Manik Kumolo untuk diperkenalkan di tengah-tengah masyarakat Yogyakarta. Kirab yang disambut antusias oleh masyarakat di sepanjang jalan yang dilalui itu antara lain diikuti tujuh gajah Gembiraloka, Marching Band Akademi Angkatan Udara, serta pasukan berkuda.

Budaya Luhur
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin yang menyaksikan acara itu menilai prosesi jumenengan tersebut merupakan bagian dari budaya luhur yang perlu terus dilestarikan di Indonesia.

"Ini penting, bagaimanapun juga ini budaya yang sangat luhur," kata Lukman seusasi mengikuti prosesi Jumenengan.

Bagi Lukman, prosesi tersebut juga mencerminkan bahwa Yogyakarta pada umumnya, dan Puro Pakualaman pada khususnya memiliki tradisi panjang dalam menjaga kebudayaan.

Salah satu rangkian prosesi jumenengan yang paling berkesan bagi Lukman yakni Beksan Bedhaya Panji Angranakung. Tarian yang dibawakan oleh tujuh penari setelah penobatan PA X itu merupakan tarian yang pertama kali diselenggarakan pada masa KGPAA Paku Alam II.

Tarian tersebut mengisahkan perjuangan Raden Panji Inu Kertapati dalam pengembaraan serta membangun kepercayaan masyarakat.

"Tarian yang tadi dibawakan dengan penuh khidmat dan konsentrasi itu menurut saya kaya dengan simbol, yang tentu dalam konteks kekinian penting kita ambil nilai-nilainya," kata Lukman.

Sementara itu, pakar politik dan pemerintahan UGM, Bayu Dardias Kurniadi memandang upacara yang berlangsung singkat itu sebagai kombinasi tradisionalitas dengan modernitas. "Ada upaya mengombinasikan tradisionalitas dengan modernitas," kata dia.