Jakarta (ANTARA News) - Presiden Joko Widodo ingin agar lalu-lintas penerbangan sipil, terkhusus di utara Pulau Jawa, ditata dengan memanfaatkan ruang udara di selatan Pulau Jawa untuk meningkatkan keselamatan dan kapasitas penerbangan.

Dalam rapat di Kantor Presiden Jakarta, Jumat, Jokowi memimpin langsung rapat khusus tentang itu. Hadir Sekretaris Kabinet, Pramono Anung, Menteri Perhubungan, Ignatius Jonan, dan Wakil Kepala Staf TNI AU, Marsekal Madya TNI Bagus Puruhito.

Anung, kepada pers, menyatakan, mengatakan jalur utara Pulau Jawa sudah sangat padat dengan penerbangan Jakarta-Surabaya yang ada di urutan ke-11 terpadat di dunia, dengan 170 pergerakan wahana terbang perjam, sekitar tiga pergerakan wahana terbang permenit.

"Artinya harus ada pola perubahan untuk pengaturan ini, tadi diusulkan untuk pangkalan-pangkalan udara tidak semuanya terkonsentrasi di Jawa, sehingga latihannya tidak semua di Jawa, seperti Madiun, Yogyakarta, Malang," kata Anung.



Dia tidak menyebut orang yang mengusulkan hal itu.

Ia menambahkan, ke depan akan ada beberapa yang akan direlokasi di luar Jawa, seperti di Kalimantan dan Papua.

Indonesia memiliki beberapa bandara enklav sipil atau bandara yang merupakan pangkalan udara TNI AU yang juga digunakan untuk penerbangan sipil.

Bandara-bandara itu adalah Bandara Adi Soemarmo di Solo, Bandara Adi Soetjipto di Yogyakarta, Bandara Halim Perdanakusuma di Jakarta, Bandara Ahmad Yani di Semarang, Bandara Juanda di Surabaya, Bandara Husein Sastranegara di Bandung, dan Bandara Abdul Rahman Saleh di Malang.



Bandara-bandara itu memakai landas pacu yang sama dengan landas pacu bagi pesawat terbang TNI AU.




Merunut pada sejarah pendirian, terlebih dulu berdiri pangkalan udara (utama) TNI AU baru kemudian dikembangkan ke arah pemanfaatan sebagai bandara sipil. Contoh adalah Pangkalan Udara Utama TNI AU Halim Perdanakusuma, di Jakarta Timur, yang sejak awal memang dirancang dengan fungsi utama pangkalan udara VIP dan pengamanan Ibukota Jakarta.




Demikian juga dengan Pangkalan Udara Utama TNI AU Adi Sucipto, Yogyakarta, yang menjadi cikal-bakal pendirian TNI AU pada 1946. Di sanalah para penerbang TNI AU dididik dan dilatih. Posisi Pangkalan Udara Utama TNI AU mirip dengan dermaga Ujung, di Surabaya, bagi TNI AL.




Dermaga Ujung yang kini di dalam lingkungan Komando Armada Indonesia Kawasan Timur TNI AL menjadi "identitas" dan "rumah" TNI AL walau dia berdiri di Tegal, Jawa Tengah, pada 1945.




Sebetulnya, di Serang Timur, Banten, terdapat Bandara Gorda, seluas 7.000 Hektare yang belum dimanfaatkan secara maksimal untuk kepentingan penerbangan sipil alias komersial.




Bandara Gorda ini berjarak sekitar 70 kilometer dari Jakarta, yang jika dikembangkan bisa menjadi penggerak ekonomi secara masif. Titik di atas udara Gorda inilah yang menjadi titik referensi navigasi udara penting bagi pesawat terbang yang akan mendarat atau telah lepas landas dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta.

Dalam perkembangannya, muncul beberapa permasalahan dan kendala pengoperasian bandara enklav sipil itu, mulai pembangunan dan pengembangan bandar udara, aset, pengaturan operasi penerbangan di wilayah bandara, bantas daerah lingkungan kerja, sampai pada pengelolaan lalu lintas udara.

Selain itu, padatnya rute-rute penerbangan di Jawa dan Bali, terutama jalur Utara Pulau Jawa, seperti rute Jakarta-Bali memiliki 170 pergerakan perhari.

Sedangkan rute Jakarta-Surabaya berlangsung 150 pergerakan perhari, rute ini merupakan jalur terpadat nomor 11 di dunia.

Oleh karena itu Jokowi menggelar rapat terbatas guna membahas Pola Operasi Bandara Enklav Sipil dan Pemanfaatan Ruang Udara di Selatan Pulau Jawa terkait Keselamatan dan Peningkatan Kapasitas Penerbangan

Pada rapat itu, Jokowi meminta Jonan dan Panglima TNI, Jenderal TNI Gatot Nurmantyo, segera menyelesaikan berbagai masalah dan kendala yang muncul.

"Kuncinya adalah pengaturan yang lebih jelas. Agar dalam pelaksanaan tidak saling mengganggu, bahkan harusnya bisa saling memberi dukungan," kata Jokowi.

Pengaturan itu penting agar masyarakat pengguna jasa penerbangan tidak dirugikan, sehingga jangan sampai maskapai penerbangan dan penumpangnya menunggu dalam waktu yang cukup lama, baik untuk berangkat maupun mendarat. Hal ini juga bisa membahayakan keselamatan penerbangan.

Berkaitan dengan kepadatan jalur utara Pulau Jawa, menurut Jokowi, secara bertahap harus dikurangi agar rute eksisting menjadi efisien.

Selain itu, juga untuk kelancaran arus dan kapasitas penerbangan, khususnya di Jawa, Bali, dan sekitarnya, serta meningkatkan keselamatan lalu-lintas penerbangan pada rute-rute padat di Jawa-Bali.

Pengurangan kepadatan jalur utara Pulau Jawa juga penting untuk mengoptimalkan operasional penerbangan kontigensi jika terjadi letusan gunung berapi dan juga untuk mengurangi emisi CO2.

Jokowi menginstruksikan agar Jonan untuk segera mengatasi permasalahan ini dengan penerapan flexible use of airspace dan rute-rute baru di selatan Pulau Jawa, sehingga dapat mengurangi kepadatan lalu-lintas penerbangan pada jalur penerbangan yang telah ada.