Rupiah Jumat pagi menguat menjadi Rp13.862
8 Januari 2016 10:53 WIB
Rupiah Ditutup Melemah Petugas menghitung uang dolar AS di Kantor Cabang BNI Melawai, Jakarta, Selasa (15/9). Nilai tukar rupiah terpuruk terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menjelang Federal Open Market Committee (FOMC), Selasa (15/9) menyentuh level Rp 14.408 per dolar AS atau melemah 0,52 persen dibandingkan hari sebelumnya Rp 14.333 per dolar AS. (ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma) ()
Jakarta (ANTARA News) - Nilai tukar rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta, Jumat pagi, bergerak menguat sebesar 65 poin menjadi Rp13.862 dibandingkan posisi sebelumnya di Rp13.927 per dolar AS.
"Salah satu faktor mata uang dolar AS mengalami pelemahan yakni kekhawatiran akan memburuknya situasi ekonomi di Tiongkok sehingga akan menghalangi kenaikan suku bunga acuan bank sentral AS (The Fed) yang agresif," kata Ekonom Samuel Sekuritas Rangga Cipta di Jakarta.
Ia menambahkan bahwa secara umum sentimen dari dalam negeri juga masih cukup positif seperti inflasi yang diproyeksikan tetap terjaga, permintaan domestik membaik, percepatan belanja pemerintah, peluang suku bunga acuan Bank Indonesia (BI rate) dipangkas, serta cadangan devisa yang akan mulai naik.
Namun, menurut dia, pelaku pasar diharapkan tetap waspada mengingat gejolak ekonomi Tiongkok sepertinya belum akan mereda dalam waktu dekat. Situasi itu masih membuka peluang laju nilai tukar rupiah dapat kembali terdepresiasi.
Analis dari PT Platon Niaga Berjangka Lukman Leong menambahkan bahwa perkembangan ekonomi Tiongkok masih akan terus disorot oleh investor di pasar uang seraya menanti rilis data pekerjaan Amerika Serikat yang sedianya akan dirilis pada akhir pekan ini waktu setempat.
"Jika data AS yang dirilis menunjukan hasil optimis maka berpotensi mengurangi kekhawatiran investor mengenai prospek ekonomi global," katanya.
Menurut dia, di tengah situasi yang belum pasti itu pelaku pasar uang diperkirakan masih akan cenderung menempatkan asetnya ke dalam kategori "safe haven" seperti mata uang dolar AS.
"Salah satu faktor mata uang dolar AS mengalami pelemahan yakni kekhawatiran akan memburuknya situasi ekonomi di Tiongkok sehingga akan menghalangi kenaikan suku bunga acuan bank sentral AS (The Fed) yang agresif," kata Ekonom Samuel Sekuritas Rangga Cipta di Jakarta.
Ia menambahkan bahwa secara umum sentimen dari dalam negeri juga masih cukup positif seperti inflasi yang diproyeksikan tetap terjaga, permintaan domestik membaik, percepatan belanja pemerintah, peluang suku bunga acuan Bank Indonesia (BI rate) dipangkas, serta cadangan devisa yang akan mulai naik.
Namun, menurut dia, pelaku pasar diharapkan tetap waspada mengingat gejolak ekonomi Tiongkok sepertinya belum akan mereda dalam waktu dekat. Situasi itu masih membuka peluang laju nilai tukar rupiah dapat kembali terdepresiasi.
Analis dari PT Platon Niaga Berjangka Lukman Leong menambahkan bahwa perkembangan ekonomi Tiongkok masih akan terus disorot oleh investor di pasar uang seraya menanti rilis data pekerjaan Amerika Serikat yang sedianya akan dirilis pada akhir pekan ini waktu setempat.
"Jika data AS yang dirilis menunjukan hasil optimis maka berpotensi mengurangi kekhawatiran investor mengenai prospek ekonomi global," katanya.
Menurut dia, di tengah situasi yang belum pasti itu pelaku pasar uang diperkirakan masih akan cenderung menempatkan asetnya ke dalam kategori "safe haven" seperti mata uang dolar AS.
Pewarta: Zubi Mahrofi
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2016
Tags: