Bogor (ANTARA News) - Komunitas Pelestari Pusaka Budaya Bogor (KPPBB) memberikan julukan Bogor sebagai Kota Hujan dan Sejarah, guna memperkuat karakter wilayah Bogor kepada masyarakat luas baik nasional maupun internasional.

"Penamaan Bogor Kota Hujan dan Sejarah tercetus dalam diskusi reflesik akhir tahun yang dihadiri para pelestari, akademisi, budayawan, seniman dan pemerhati pada akhir Desember 2015 lalu," kata Ketua KPPBB, Dewi Djukardi, di Bogor, Minggu.

Ia mengatakan, julukan Kota Hujan karena ciri khas Bogor yang frekwensi hujannya lebih sering dibanding kota lain. Walaupun saat ini Bogor sudah jarang hujan terutama pada 2015 saat dilanda El Nino.

"Julukan Kota Sejarah karena Bogor telah melewati empat fase peradapan yakni zaman pra sejarah, kerajaan, penjajahan dan revolusi kemerdekaan," katanya.

Dikatakannya, diskusi yang mengangkat tema Refleksi Pelestarian Pusaka Budaya Bogor, berfokus menata fisik pusaka dan kawasan cagar budaya Bogor, dengan menghasilkan sumbang saran penataan dan perencanaan Kota Pusaka Bogor.

"Diskusi ini terselenggarakan sebagai bentuk keprihatinan dan kepedulian masyarakat pada pelestarian warisan budaya maupun cagar budaya Bogor," katanya.

Hadir dalam diskusi tersebut sejumlah tokoh di antaranya, Heriyanti O Untoro, (Dosen Universitas Indonesia, ahli antropologi), Hardini Sumono (ahli arkeologi), Siti Nurisyah (dosen IPB, Ahli Pertamanan), Adenan Taufik (seniman-budayawan) Sonny Rijadi, (pejabat pemerintah Kota Bogor) Tb. Eman Sulaeman (budayawan), Yoyon Supriyadi (dosen STIE Kesatuan), Isning Karwati, (guru Sekolah Kesatuan) dan Mohammad Mahrus (mahasiswa Universitas Djuanda).

Diskusi lintas generasi dari berbagai bidang ilmu ini menghasilkan berbagai sumbang pikiran terkait penataan dan pelestarian (perlindungan, pengawalan dan pemanfaatan) warisan budaya maupun cagar budaya Bogor yang disampaikan oleh masing-masing peserta.

Menurut Nurisyah, visi dan misi suatu kota harus jelas seperti contohnya penataan ruang untuk jalanan yang ada tidak diubah dari bentuk aslinya (sesuai dengan peta tata ruang warisan dari zaman dulu), dan konsep penataan taman harus dikembalikan pada kawasan dimana taman tersebut berada.

"Misalnya, kawasan Eropa harus dikembalikan kawasan lanskapnya di masa itu dan pemakaian jenis tanaman disesuaikan fungsi serta kemudahan perawatannya," kata dia. Tentang ini, kepentingan pemodal dan bisnis hampir selalu dimenangkan pemerintah setempat atas nama pembangunan dan perolehan dana pajak.

Tokoh masyarakat dan budayawan Sunda, Taufik mengatakan, infrastruktur di kawasan pedesaan harus menjadi priroritas utama pemerintah. "Karena di desa terdapat kearifan lokal dan cikal bakal budaya serta kesenian Bogor," katanya.

Sementara itu Sulaeman, mengatakan, daerah-daerah di Bogor memiliki kekhasan nama-nama (topomini) yang menyimpan berbagai kisah tempo yang berkaitan dengan sejarah, adat, dan kebiasaan masyarakat, agar bisa diingat generasi berikutnya.

"Saya sudah catat semua nama-nama yang menjadi kekhawasan wilayah Bogor, dapat dibukukan agar mejadi bahan pelajaran bagi anak-anak sekolah," katanya.

Untoro menambahkan, perlu didorong pembangunan wilayah berwawasan budaya, agar peninggalan sejarah dan warisan budaya bangsa tetap terjaga di tengah derasnya arus globalisasi.

"Setiap daerah di Indonesia menemukan masalah yang sama dengan pelestarian cagar budaya, yang terancam hilang. Ini karena konsep pembangunan mengutaman wawasan ekonomi. Harusnya pembangunan berwawasan budaya dan ekonomi dapat berjalan beriringan. Layaknya Eropa yang terkenal karena bangunan-banguna kunonya," kata dia.