Rafah, Perbatasan Mesir-Gaza (ANTARA News) - Dua jam menjelang detik-detik malam pergantian Tahun Baru 2016, Rafah diguyur hujan cukup deras diiringi petir menggelegar di cakrawala kota perbatasan Mesir-Gaza, Palestina.

Panorama kota Rafah amat cerah setelah hujan. Tepat pukul 24.00 seantero Rafah dari puncak sebuah apartemen tampak langit bersih bertabur bintang, namun jalan-jalan sepi, lampu penerang jalan dan rumah-rumah warga tampak redup di sana-sini, sunyi senyap laksana kota mati.

Di tengah keheningan, empat tank tempur tampak beriringan melintas dengan suara bising. Sesekali terdengar suara tembakan senjata berat di kejauhan sana.

Kondisi senyap Kota Rafah di Malam Tahun Baru 2016 ini sangat kontras dengan suasana di Ibu Kota Mesir, Kairo, yang gegap gempita dengan pesta kembang api.

Berbagai jaringan televisi nasional Mesir menyiarkan secara langsung perayaan malam perganian tahun baru secara besar-besaran yang dipusatkan di Kompleks Piramida Giza, bagian barat Kairo.

Piramida dan Sphinx, yang merupakan salah satu keajaiban dunia, di malam itu bermandi cahaya kembang api aneka warna.

Kementerian Pariwisata Mesir memprakarsai perayaan malam Tahun Baru di Piramida itu dengan mengusung tema: "From Egypt to the World".

Hal berbeda di Rafah. Sekira setengah jam setelah lewat tengah malam, tiba-tiba byaarr pet!, listrik padam di Rafah. Hal itu berlangusng hngga terbit fajar. Hanya satu jam kembali hidup, listriknya padam lagi hingga menjelang azan menandai Shalat Jumat.

Sepi senyapnya jalan-jalan di Kota Rafah itu terkait dengan pemberlakuan keadaan darurat, dengan berlakunya jam malam mulai pukul 19.00 sore hingga 06.00 keesokan harinya.

Warga Rafah kebanyakan mengatakan, jam malam itu resminya berlaku mulai pukul 19.00, namun pukul 17.00 tentara sudah mulai memperketat izin lalu lintas keluar-masuk Rafah.

Rafah merupakan satu-satunya kota di Mesir yang waktu pemberlakuan keadaan darurat terpanjang, sejak Agustus 2013, tak lama setelah tumbangnya Presiden Mohamed Moursi. Moursi sebelumnya menumbangkan kediktatoran Presiden Husni Mubarak yang memerintah pada 1981 hingga 2011.

Jam malam itu diberlakukan menyusul terbunuhnya belasan tentara dan polisi Mesir, akibat serangan kelompok garis keras yang diduga pendukung Presiden Moursi.

Serangan dan pembunuhan sporadis yang dilancarkan gerilyawan bersenjata dengan sasaran tentara dan polisi di Rafah itu terus berlangsung hingga kini.

Akibarnya, pemerintah Mesir di bawah Presiden Abdul Fatah Al Sisi memberlakuan jam malam di Rafah diperpanjang setiap tiga bulan sejak dua tahun silam.

Presiden Al Sisi pada 25 Oktober 2015 kembali mengumumkan perpanjangan jam malam di Rafah, Sheikh Zuweid, dan Al Arish, bagian utara Semenanjung Sinai, untuk tiga bulan ke depan hingga Januari 2016.

Namun, di kota Al Arish, tetangga bagian barat Rafah, pemberlakuan jam malam lebih singkat dari pukul 00:00 hingga 06.00.

Selama ini banyak jalan di kota Rafah ditutup, kondisi jalan-jalan juga hancur akibat sehari-harinya dilewati tank-tank tempur.

Sejumlah jalan utama, bahkan sengaja dibuat berkelok-kelok dari tumpukan pasir, terutama dekat pos pemeriksaan keamanan.

Di waktu siang, bila konvoi tank tempur lewat, tampak semua kendaraan sipil menepi di pinggir jalan.

"Ini hanya kesadaran sendiri oleh pengendara sipil menepi di jalan saat tank lewat, sebagai penghormatan terhadap tentara," kata Faiz Abdel Hamid, seorang supir taksi di Rafah, kepada ANTARA News.

Itulah jawaban manakala pendatang ingin tahu mengapa semua kendaraan sipil tiba-tiba saja harus menepi di jalan.

Kendaraan sipil juga diperiksa sangat ketat berulang-ulang di setiap pos periksaan. Pos-pos pemeriksaan itu berjarak sangat dekat yang mengakibatkan antrean panjang kendaraan.

Petugas pemeriksaan di Rafah itu hampir tak terlihat polisi, semuanya didominasi tentara dengan tentengan senjata siap tembak.

Tidak seperti kota lainnya, di Rafah tidak ada fasiltas hotel.

Oleh karena itu, orang Indonesia termasuk delegasi DPR RI yang berkunjung ke Gaza, biasanya bermalam di kota Al Arish yang berjarak sekitar 50 kilometer arah barat Rafah.

"Rafah merupakan satu-satunya kota di Mesir yang tidak dikunjungi turis asing karena selain tidak ada fasilitas akomodasi hotel, juga keamanan tidak kondusif," kata Ashraf Abdel Maguid, agen wisata Masr Lil Siahah.

Di sisi lain, Rafah juga merupakan satu-satunya wilayah perbatasan Mesir yang diadakan zona penyangga di garis perbatasan dengan Gaza.

Mesir berdalih, zona penyangga itu tujuannya mengamankan wilayahnya dari penyusupan warga asing.

Zona penyangga sepanjang 13 km dan lebar 500 meter itu memaksa penggusuran 900-an rumah dan secara paksa relokasi lebih dari seribu penduduknya di sana.

Akhir bulan lalu, Amnesti Internasional menyerukan Pemerintah Mesir untuk menghentikan penggusuran warga dan mengutuk adanya zona penyangga.