Pontianak (ANTARA News) - Kepala Kantor Bank Indonesia (BI) perwakilan Kalimantan Barat, Dwi Suslamanto, menyatakan bahwa pihaknya memprediksikan pertumbuhan perekonomian global pada 2016 masih berisiko lebih rendah dari proyeksi 3,5 persen.

"Melihat dalam dan luasnya kompleksitas permasalahan saat ini, kita memprediksikan perekonomian global tahun 2016 masih berisiko lebih rendah dari proyeksi 3,5 persen," katanya di Pontianak, Kamis.

Dia menjelaskan, sumber risiko perekonomian global karena beberapa faktor, antara lain terus melambatnya ekonomi Tiongkok, terus menurunnya harga komoditas, antisipasi kenaikan suku bunga di Amerika Serikat (AS) dan ancaman keluarnya modal dari negara berkembang.

Selain itu, ia mengemukakan, Indonesia juga akan dihadapkan dengan tantangan perekonomian domestik yang mengakibatkan masih tingginya ketidakpastian global yang dapat mengganggu upaya pemerintah dalam mendorong perekonomian nasional tumbuh lebih cepat.

"Untuk itu, kita perlu mengambil langkah perbaikan di dua sektor, yaitu sektor riil dan sektor keuangan. Di sektor riil, kita saat ini tengah menghadapi proses de-industrialisasi, pangsa industri pengolahan terhadap PDB terus turun, dari 29 persen pada tahun 2001 menjadi 23,7 persen pada tahun 2014," tuturnya.

Dalam mata rantai pasokan industri dinilainya, pengolahan di dalam negeri menjadi titik terlemah berada di industri hulu.

Selain itu, ia mengemukakan, ketiadaan industri-industri seperti logam dasar, kimia dasar dan pengilangan minyak bumi, yang dapat memasok "industri antara dan hilir" menyebabkan hampir sebagian besar bahan baku harus diimpor.

"Ini menyebabkan industri hilir kita menjadi rentan terhadap depresiasi kurs. Sementara di sektor riil kita juga perlu membenahi komposisi ekspor kita, agar tidak bergantung pada ekspor sumber daya alam mentah bernilai tambah rendah," katanya.

Di sektor keuangan, ia pun menyatakan, perlu segera merumuskan strategi untuk memperluas basis pembiayaan jangka panjang.

"Hal itu perlu dilakukan, agar sumber pembiayaan ekonomi tidak hanya terkonsentrasi pada kredit perbankan, tetapi juga tersebar pada instrument pasar modal, terutama obligasi korporasi dan saham," demikian Dwi Suslamanto.