Dirut KAI: Jangan lagi lempari KA
27 Desember 2015 23:49 WIB
Ilustrasi. Arus Mudik Natal Dan Tahun Baru. Calon penumpang melihat papan informasi pemesanan angkutan kereta api untuk Natal dan Tahun Baru di loket Stasiun Pasar Senen, Jakarta, Kamis (24/12). (ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja)
Semarang (ANTARA News) - Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia (KAI) Edi Sukmoro mengimbau agar tidak ada lagi oknum berulah tidak bertanggung jawab dengan melempari kereta api (KA).
"Kereta api (KA) itu kan public service. Artinya, milik rakyat, bukan milik orang-orang PT KAI," katanya di sela pantauan arus Natal dan Tahun Baru di Stasiun Tawang Semarang, Minggu.
Karena milik masyarakat juga, kata dia, aset-aset KAI, seperti lokomotif dan KA jangan dilempari atau dirusak karena pada akhirnya masyarakat juga yang akan rugi jika KA mengalami kerusakan.
Pelemparan oleh oknum tidak bertanggung jawab terhadap KA, kata dia, berakibat fatal pula bagi para petugas KAI selaku operator, seperti salah satu asisten masinisnya yang mengalami kebutaan.
"Ada asisten masinis KA yang mengalami kebutaan di salah satu matanya akibat pelemparan batu ke KA. Kasihan, usianya masih sangat muda, baru 24 tahun. Namun, harus mengalami kebutaan," katanya.
Sampai saat ini, kata dia, KAI masih terus memperjuangkan upaya penanganan agar kebutaan itu tidak merembet ke satu matanya yang masih normal dan seluruh biaya pengobatannya juga ditanggung.
"Makanya, setop melempar batu dan sebagainya ke KA. Tolong, lokomotif dan KA jangan lagi dilempari," harapnya.
Selain itu, Edi juga mengingatkan masyarakat terhadap bahaya membuka perlintasan sebidang secara sembarangan, sebab perlintasan sebidang yang dibuka secara liar itu jelas tidak terjaga.
Edi menceritakan ketika melakukan pantauan di sekitar Stasiun Alastua, Semarang, mendapati banyak perlintasan sebidang atau perpotongan dengan jalan rel yang dibuka secara sembarangan oleh masyarakat.
"Hampir setiap 100 meter ada persilangan (perlintasan liar, red.) yang dibuat sendiri oleh masyarakat. Persilangan itu jelas berbahaya karena pasti tidak dijaga," katanya.
Apalagi, kata dia, masyarakat atau pengendara yang melintas tidak mengetahui secara pasti jadwal perjalanan KA atau jam-jam KA akan melintas sehingga sangat membahayakan keselamatan.
"Masinis saya juga tidak berani kenceng kalau tahu ada banyak perlintasan liar seperti itu, sedikit-sedikit pasti nglakson (membunyikan klakson, red.) takut tiba-tiba ada motor nyelonong," katanya.
Edi menjelaskan pengereman KA tidak bisa dilakukan secara tiba-tiba, melainkan membutuhkan jarak tertentu yang cukup jauh agar KA benar-benar bisa berhenti setidaknya 40-60 meter.
"Makanya, jangan lagi ditambahi perlintasan kecil-kecil seperti itu. Upaya sosialisasi juga terus dilakukan. Bahkan, kalau mungkin perlintasan kecil yang sudah ada dihilangkan," katanya.
"Kereta api (KA) itu kan public service. Artinya, milik rakyat, bukan milik orang-orang PT KAI," katanya di sela pantauan arus Natal dan Tahun Baru di Stasiun Tawang Semarang, Minggu.
Karena milik masyarakat juga, kata dia, aset-aset KAI, seperti lokomotif dan KA jangan dilempari atau dirusak karena pada akhirnya masyarakat juga yang akan rugi jika KA mengalami kerusakan.
Pelemparan oleh oknum tidak bertanggung jawab terhadap KA, kata dia, berakibat fatal pula bagi para petugas KAI selaku operator, seperti salah satu asisten masinisnya yang mengalami kebutaan.
"Ada asisten masinis KA yang mengalami kebutaan di salah satu matanya akibat pelemparan batu ke KA. Kasihan, usianya masih sangat muda, baru 24 tahun. Namun, harus mengalami kebutaan," katanya.
Sampai saat ini, kata dia, KAI masih terus memperjuangkan upaya penanganan agar kebutaan itu tidak merembet ke satu matanya yang masih normal dan seluruh biaya pengobatannya juga ditanggung.
"Makanya, setop melempar batu dan sebagainya ke KA. Tolong, lokomotif dan KA jangan lagi dilempari," harapnya.
Selain itu, Edi juga mengingatkan masyarakat terhadap bahaya membuka perlintasan sebidang secara sembarangan, sebab perlintasan sebidang yang dibuka secara liar itu jelas tidak terjaga.
Edi menceritakan ketika melakukan pantauan di sekitar Stasiun Alastua, Semarang, mendapati banyak perlintasan sebidang atau perpotongan dengan jalan rel yang dibuka secara sembarangan oleh masyarakat.
"Hampir setiap 100 meter ada persilangan (perlintasan liar, red.) yang dibuat sendiri oleh masyarakat. Persilangan itu jelas berbahaya karena pasti tidak dijaga," katanya.
Apalagi, kata dia, masyarakat atau pengendara yang melintas tidak mengetahui secara pasti jadwal perjalanan KA atau jam-jam KA akan melintas sehingga sangat membahayakan keselamatan.
"Masinis saya juga tidak berani kenceng kalau tahu ada banyak perlintasan liar seperti itu, sedikit-sedikit pasti nglakson (membunyikan klakson, red.) takut tiba-tiba ada motor nyelonong," katanya.
Edi menjelaskan pengereman KA tidak bisa dilakukan secara tiba-tiba, melainkan membutuhkan jarak tertentu yang cukup jauh agar KA benar-benar bisa berhenti setidaknya 40-60 meter.
"Makanya, jangan lagi ditambahi perlintasan kecil-kecil seperti itu. Upaya sosialisasi juga terus dilakukan. Bahkan, kalau mungkin perlintasan kecil yang sudah ada dihilangkan," katanya.
Pewarta: Zuhdiar Laeis
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2015
Tags: