Biksu Tibet hindari bakar diri karena keluarga terancam
22 Desember 2015 23:07 WIB
Seorang wanita melemparkan selendang putih ke arah biksuni Palden Choetso saat ia membakar dirinya di jalan Daofu, atau Tawu di Tibet dalam gambar diam yang diambil dari potongan video 3 November lalu dan dirilis Reuters, Selasa (22/11). Biksuni berusia 35 tahun tersebut membakar dirinya hingga tewas awal bulan lalu sebagai protes atas kendali religius China terhadap Tibet. (REUTERS/Students For A Free Tibet via Reuters TV)
Aba, Tiongkok (ANTARA News) - Kata-kata terakhir Adrak sebelum polisi Tiongkok menyeretnya pergi ialah "Semoga Dalai Lama hidup 10 ribu tahun".
Biksu Tibet berusia 20 tahun itu membawa potret Dalai Lama saat ia berjalan menyusuri jalan utama di luar biaranya. Dia juga menyerukan kebebasan bagi Tibet, lapor AFP.
Potret pemimpin spiritual Tibet itu terjatuh saat polisi menangkapnya, dan beberapa penonton yang terpanggil karena teriakan Adrak juga dipukuli dan dibawa pergi, demikian para saksi dan mantan biksu yang kini berada dalam pengasingan.
Namun protes tersebut tidak dilakukan separah sebelumnya. Adrak tidak membakar diri bahkan tidak mencoba, seperti yang dilakukan sebagian besar biksu sebelum dirinya.
Pembakaran diri semakin berkurang, digantikan dengan beberapa demonstrasi tunggal sebagai kampanye yang dilakukan para biksu atas intimidasi pemerintah yang menyasar anggota keluarga atau teman biksu yang membakar diri.
Tidak ada kabar terdengar tentang Adrak atau ketiga rekan biksunya sejak mereka melakukan aksi protes itu.
Biara Kirti di Aba terkenal dengan 143 kasus warga Tibet yang membakar diri, sebagian di antaranya sekarat, untuk melawan kebijakan Tiongkok di wilayah tersebut dan sebagai seruan kembalinya Dalai Lama.
Sekitar sepertiga dari total peristiwa bakar diri terjadi di daerah Aba, barat daya Provinsi Sichuan. Setengahnya dilakukan oleh para biksu dan biksuni.
"Saya bisa memilih menghancurkan tubuh ini berdasarkan ide saya sendiri, tetapi saya tidak bisa membuat keputusan yang sama untuk orang lain," ujar seorang biksu 24 tahun di bawah kuil beratap emas dengan latar belakang suara lonceng yang tertiup angin.
"Banyak biksu tidak ingin membahayakan keluarga mereka," tutur dia.
Jalan Martir
Jalan utama di dekat kuil tersebut sehari-hari dikenal sebagai Jalan Martir, meskipun hanya tujuh peristiwa bakar diri terjadi di lokasi itu dalam satu tahun terakhir menurut kelompok HAM.
Sedikitnya 98 warga Tibet ditahan, dipenjarakan, atau hilang karena dugaan terkait dengan seseorang yang membakar diri, kata kelompok advokasi Kampanye Internasional untuk Tibet.
Seorang pria dijatuhi hukuman mati sehubungan dengan istrinya yang membakar diri seusai pemerintah menuduhnya membunuh istrinya.
Seorang biksu ditangguhkan hukuman matinya dan dijatuhi hukuman penjara seumur hidup, menurut laporan media setempat, setelah didakwa menghasut orang lain agar melakukan bakar diri.
Pengamat mengatakan model hukuman kolektif bukanlah hal baru, dan pernah terjadi pada era komunis dan kekaisaran.
"Anda menciptakan keamanan dengan membuat orang lain bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukan seseorang," ujar Direktur Program Studi Tibet Modern Columbia University, Robert Barnett.
"Ancaman ini terus digunakan melawan operasi keamanan Tiongkok di wilayah Tibet," kata dia.
Pihak berwajib Tiongkok menempatkan Aba di bawah pengawasan ketat, layanan internet dihentikan sejak aksi Adrak dan teman-temannya pada September, dan peliputan media internasional menjadi jarang dengan adanya pos pemeriksaan polisi di jalan-jalan menuju kota.
Polisi bersenjata tidak lagi berjaga di luar pintu masuk utama biara Kirti untuk mengintimidasi sekitar 3.000 biksu yang berada di dalam.
Tembok-tembok abu segera didirikan untuk memastikan satu-satunya jalan masuk dan keluar telah dibongkar. Namun, tiang logam setinggi 35 meter tetap berdiri di tengah halaman kuil, menjulang di atas setiap bangunan lain di komplek tersebut dan dihiasi lampu sorot serta empat kamera berputar.
Keberadaan kamera tersebut memberi keleluasaan pihak berwenang mengawasi penuh kehidupan luar para biksu.
"Kami tidak harus membakar diri kami sebagai aksi protes. Sekarang kami hanya bisa memprotes dan pemerintah akan menghilangkan kami selayaknya kami telah mati," ujar seorang biksu 21 tahun.
"Kami hanya menginginkan kesetaraan, namun kami diperlakukan seperti seorang kriminal," katanya biksu yang mengenakan jubah merah anggur itu, sambil disambut anggukan tanda setuju dari seorang rekannya.
Para biksu dipaksa menghadiri kembali kelas pendidikan politik, tetapi upaya Beijing untuk memperkenalkan persatuan etnis sulit diwujudkan.
"Kami tidak berasal dari Tiongkok. Kami dari Tibet," tutur seorang biksu 11 tahun dalam bahasa Inggris.
Reinkarnasi di Neraka
Beijing menyatakan pasukannya telah membebaskan Tibet dengan damai pada 1951 dan mengklaim pembebasan tersebut membawa perkembangan ekonomi di daerah yang rakyatnya pernah mereka perbudak.
Pemerintah Tiongkok menuduh Dalai Lama secara diam-diam mendukung kekerasan di Tibet sementara berpura-pura baik untuk mendapat simpati internasional.
"Beberapa lembaga di luar negeri mencoba merealisasikan agenda politik mereka dengan mengorbankan hidup orang-orang tidak berdosa," ujar juru bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok, Hong Lei.
Menurut Lei, penurunan jumlah orang yang membakar diri menunjukkan penyebab mereka melakukan itu adalah keputusasaan.
Sementara itu, pemerintah daerah tidak merespons permintaan wawancara dari AFP terkait aksi protes September lalu dan keberadaan para biksu yang ditangkap.
Dalai Lama sendiri memilih netral terkait praktik bakar diri, menyebutnya sebagai aksi putus asa yang tidak mampu dihentikannya. Ia pun enggan mengutuk para pelaku pembakaran diri untuk menghormati para keluarga korban yang ditinggalkan.
Pemimpin spiritual sekaligus pemenang Hadiah Nobel Perdamaian itu mengasingkan diri setelah pemberontakan yang gagal pada 1959. Penduduk Tibet dan kelompok HAM luar negeri menyatakan kebebasan agama dan budaya dilarang sejak peristiwa itu, sedangkan eksploitasi sumber daya alam justru menguntungkan mayoritas suku Han Tiongkok yang telah bermigrasi ke Tibet secara massal.
"Sementara pemerintah Tiongkok meningkatkan intensitas penindasan di Tibet, sepertinya mereka tidak mampu menghentikan warga Tibet untuk menyampaikan protes secara damai," ujar kepala biara yang kini diasingkan di India, Kirti Rinpoche.
Dengan semakin sedikit polisi berseragam di jalan-jalan, upaya pemerintah untuk mengamankan kota sepertinya akan memperoleh kemajuan.
Namun, para biksu dan warga lokal mengatakan suasana ketakutan masih akan bertahan di Aba. Sementara para ahli memperkirakan para pelaku protes tunggal biasanya dihukum antara dua hingga empat tahun di penjara.
Upaya penyampaian pendapat belum sepenuhnya hancur. Lima penduduk setempat mengatakan pada AFP bahwa tindakan unjuk rasa tetap dilakukan setidaknya sekali dalam satu bulan.
"Terlalu banyak tekanan hidup di sini, tidak ada seorang pun bisa bernafas. Saya merasa sudah mati dan sedang direinkarnasi di dalam neraka," tutur Tseda, seorang pemilik toko di Aba yang mengaku mendukung tindakan para biksu.
(Uu.Y013/M016)
Biksu Tibet berusia 20 tahun itu membawa potret Dalai Lama saat ia berjalan menyusuri jalan utama di luar biaranya. Dia juga menyerukan kebebasan bagi Tibet, lapor AFP.
Potret pemimpin spiritual Tibet itu terjatuh saat polisi menangkapnya, dan beberapa penonton yang terpanggil karena teriakan Adrak juga dipukuli dan dibawa pergi, demikian para saksi dan mantan biksu yang kini berada dalam pengasingan.
Namun protes tersebut tidak dilakukan separah sebelumnya. Adrak tidak membakar diri bahkan tidak mencoba, seperti yang dilakukan sebagian besar biksu sebelum dirinya.
Pembakaran diri semakin berkurang, digantikan dengan beberapa demonstrasi tunggal sebagai kampanye yang dilakukan para biksu atas intimidasi pemerintah yang menyasar anggota keluarga atau teman biksu yang membakar diri.
Tidak ada kabar terdengar tentang Adrak atau ketiga rekan biksunya sejak mereka melakukan aksi protes itu.
Biara Kirti di Aba terkenal dengan 143 kasus warga Tibet yang membakar diri, sebagian di antaranya sekarat, untuk melawan kebijakan Tiongkok di wilayah tersebut dan sebagai seruan kembalinya Dalai Lama.
Sekitar sepertiga dari total peristiwa bakar diri terjadi di daerah Aba, barat daya Provinsi Sichuan. Setengahnya dilakukan oleh para biksu dan biksuni.
"Saya bisa memilih menghancurkan tubuh ini berdasarkan ide saya sendiri, tetapi saya tidak bisa membuat keputusan yang sama untuk orang lain," ujar seorang biksu 24 tahun di bawah kuil beratap emas dengan latar belakang suara lonceng yang tertiup angin.
"Banyak biksu tidak ingin membahayakan keluarga mereka," tutur dia.
Jalan Martir
Jalan utama di dekat kuil tersebut sehari-hari dikenal sebagai Jalan Martir, meskipun hanya tujuh peristiwa bakar diri terjadi di lokasi itu dalam satu tahun terakhir menurut kelompok HAM.
Sedikitnya 98 warga Tibet ditahan, dipenjarakan, atau hilang karena dugaan terkait dengan seseorang yang membakar diri, kata kelompok advokasi Kampanye Internasional untuk Tibet.
Seorang pria dijatuhi hukuman mati sehubungan dengan istrinya yang membakar diri seusai pemerintah menuduhnya membunuh istrinya.
Seorang biksu ditangguhkan hukuman matinya dan dijatuhi hukuman penjara seumur hidup, menurut laporan media setempat, setelah didakwa menghasut orang lain agar melakukan bakar diri.
Pengamat mengatakan model hukuman kolektif bukanlah hal baru, dan pernah terjadi pada era komunis dan kekaisaran.
"Anda menciptakan keamanan dengan membuat orang lain bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukan seseorang," ujar Direktur Program Studi Tibet Modern Columbia University, Robert Barnett.
"Ancaman ini terus digunakan melawan operasi keamanan Tiongkok di wilayah Tibet," kata dia.
Pihak berwajib Tiongkok menempatkan Aba di bawah pengawasan ketat, layanan internet dihentikan sejak aksi Adrak dan teman-temannya pada September, dan peliputan media internasional menjadi jarang dengan adanya pos pemeriksaan polisi di jalan-jalan menuju kota.
Polisi bersenjata tidak lagi berjaga di luar pintu masuk utama biara Kirti untuk mengintimidasi sekitar 3.000 biksu yang berada di dalam.
Tembok-tembok abu segera didirikan untuk memastikan satu-satunya jalan masuk dan keluar telah dibongkar. Namun, tiang logam setinggi 35 meter tetap berdiri di tengah halaman kuil, menjulang di atas setiap bangunan lain di komplek tersebut dan dihiasi lampu sorot serta empat kamera berputar.
Keberadaan kamera tersebut memberi keleluasaan pihak berwenang mengawasi penuh kehidupan luar para biksu.
"Kami tidak harus membakar diri kami sebagai aksi protes. Sekarang kami hanya bisa memprotes dan pemerintah akan menghilangkan kami selayaknya kami telah mati," ujar seorang biksu 21 tahun.
"Kami hanya menginginkan kesetaraan, namun kami diperlakukan seperti seorang kriminal," katanya biksu yang mengenakan jubah merah anggur itu, sambil disambut anggukan tanda setuju dari seorang rekannya.
Para biksu dipaksa menghadiri kembali kelas pendidikan politik, tetapi upaya Beijing untuk memperkenalkan persatuan etnis sulit diwujudkan.
"Kami tidak berasal dari Tiongkok. Kami dari Tibet," tutur seorang biksu 11 tahun dalam bahasa Inggris.
Reinkarnasi di Neraka
Beijing menyatakan pasukannya telah membebaskan Tibet dengan damai pada 1951 dan mengklaim pembebasan tersebut membawa perkembangan ekonomi di daerah yang rakyatnya pernah mereka perbudak.
Pemerintah Tiongkok menuduh Dalai Lama secara diam-diam mendukung kekerasan di Tibet sementara berpura-pura baik untuk mendapat simpati internasional.
"Beberapa lembaga di luar negeri mencoba merealisasikan agenda politik mereka dengan mengorbankan hidup orang-orang tidak berdosa," ujar juru bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok, Hong Lei.
Menurut Lei, penurunan jumlah orang yang membakar diri menunjukkan penyebab mereka melakukan itu adalah keputusasaan.
Sementara itu, pemerintah daerah tidak merespons permintaan wawancara dari AFP terkait aksi protes September lalu dan keberadaan para biksu yang ditangkap.
Dalai Lama sendiri memilih netral terkait praktik bakar diri, menyebutnya sebagai aksi putus asa yang tidak mampu dihentikannya. Ia pun enggan mengutuk para pelaku pembakaran diri untuk menghormati para keluarga korban yang ditinggalkan.
Pemimpin spiritual sekaligus pemenang Hadiah Nobel Perdamaian itu mengasingkan diri setelah pemberontakan yang gagal pada 1959. Penduduk Tibet dan kelompok HAM luar negeri menyatakan kebebasan agama dan budaya dilarang sejak peristiwa itu, sedangkan eksploitasi sumber daya alam justru menguntungkan mayoritas suku Han Tiongkok yang telah bermigrasi ke Tibet secara massal.
"Sementara pemerintah Tiongkok meningkatkan intensitas penindasan di Tibet, sepertinya mereka tidak mampu menghentikan warga Tibet untuk menyampaikan protes secara damai," ujar kepala biara yang kini diasingkan di India, Kirti Rinpoche.
Dengan semakin sedikit polisi berseragam di jalan-jalan, upaya pemerintah untuk mengamankan kota sepertinya akan memperoleh kemajuan.
Namun, para biksu dan warga lokal mengatakan suasana ketakutan masih akan bertahan di Aba. Sementara para ahli memperkirakan para pelaku protes tunggal biasanya dihukum antara dua hingga empat tahun di penjara.
Upaya penyampaian pendapat belum sepenuhnya hancur. Lima penduduk setempat mengatakan pada AFP bahwa tindakan unjuk rasa tetap dilakukan setidaknya sekali dalam satu bulan.
"Terlalu banyak tekanan hidup di sini, tidak ada seorang pun bisa bernafas. Saya merasa sudah mati dan sedang direinkarnasi di dalam neraka," tutur Tseda, seorang pemilik toko di Aba yang mengaku mendukung tindakan para biksu.
(Uu.Y013/M016)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2015
Tags: