PHDI: pementasan Tari Wali tak bisa dipaksakan
21 Desember 2015 14:28 WIB
Ratusan Umat Hindu mengusung benda-benda sakral menuju sumber mata air dalam upacara Melasti di Pura Besakih, Karangasem, Bali. (ANTARA FOTO/Nyoman Budhiana)
Denpasar (ANTARA News) - Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Provinsi Bali menyatakan Tari Wali tidak bisa dipaksakan untuk dipentaskan pada semua pura yang berstatus "Sad Kahyangan" meskipun ditujukan sebagai upaya pelestarian setelah mendapat pengakuan UNESCO.
"Tari tradisi yang masuk kategori Tari Wali tidak sepenuhnya bisa dibawakan pada Pura Sad Kahyangan karena setiap pura mempunyai ciri khas masing-masing. Kalau itu diharuskan, tentu akan menjadi masalah sehingga perlu dikomunikasikan dengan baik," kata Ketua PHDI Provinsi Bali Prof Dr I Gusti Ngurah Sudiana, di Denpasar, Senin.
Di Bali, pura yang termasuk dalam Sad Kahyangan adalah Pura Besakih, Lempuyang, Goa Lawah, Uluwatu, Batukaru, dan Pusering Jagat. Sedangkan UNESCO sudah menetapkan Tari Rejang, Sanghyang Dedari, dan Baris Upacara yang digolongkan sebagai tarian sakral (Tari Wali) sebagai bagian Warisan Budaya Tak Benda UNESCO, dari sembilan tarian yang sudah ditetapkan.
Menurut dia, terkait usulan sebelumnya dari Dinas Kebudayaan Provinsi Bali agar Tari Wali bisa dipentaskan di Pura Sad Kahyangan, memerlukan pertimbangan yang matang.
"Mana yang bisa dipentaskan di Sad Kahyangan, dan mana yang tidak. Jika dipaksakan akan menjadi panas situasi, padahal tujuannya untuk kemuliaan," ujar Sudiana.
Selain itu, dia pun mengingatkan sesungguhnya berat untuk mempertahankan identitas dari masing-masing tarian tersebut serta pemanfaatannya karena sudah diakui dunia sehingga banyak pihak yang akan memantau.
"Bagi upacara yang berkaitan dengan sembilan tarian itu, mohon agar tetap menjaga bagaimana ciri-ciri tari tersebut yang sebenarnya, agar tidak sampai diselewengkan seperti Joged Bumbung belakangan menjadi joged seronok," ucapnya.
Pihaknya pun sudah menyampaikan pada para "pemangku" atau pemuka umat mengenai sembilan tarian tersebut untuk kemudian diteruskan pada seluruh pangemong atau penanggung jawab pura agar menyampaikan pada masyarakat supaya berbagai tarian itu tidak keluar pakem yang menjadi ciri khas tarian masing-masing.
"Kami khawatirkan jika keluar dari pakem, maka yang terjadi itu kritikan. Kalau melakukan kreasi, maka harus berkoordinasi dulu dengan seniman yang sudah mempunyai reputasi yang bagus," kata Sudiana.
Sebelumnya Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali Dewa Putu Beratha mengatakan untuk upaya pelestarian tari, tidak cukup juga hanya melalui pendidikan, yang terpenting pemerintah bisa menciptakan dan memberikan ruang wadah sehingga tarian tersebut tetap bisa dipentaskan.
Terkait Tari Wali yang hanya bisa dipentaskan dalam upacara keagamaan, pemerintah pun masih bisa memfasilitasi. "Ini yang perlu kita komunikasikan, sehingga pada upacara besar di Pura yang berstatus Sad Kahyangan wajib dipentaskan tarian itu, karena di ajang Pesta Kesenian Bali kan tidak mungkin untuk dipentaskan," kata Dewa Beratha.
"Tari tradisi yang masuk kategori Tari Wali tidak sepenuhnya bisa dibawakan pada Pura Sad Kahyangan karena setiap pura mempunyai ciri khas masing-masing. Kalau itu diharuskan, tentu akan menjadi masalah sehingga perlu dikomunikasikan dengan baik," kata Ketua PHDI Provinsi Bali Prof Dr I Gusti Ngurah Sudiana, di Denpasar, Senin.
Di Bali, pura yang termasuk dalam Sad Kahyangan adalah Pura Besakih, Lempuyang, Goa Lawah, Uluwatu, Batukaru, dan Pusering Jagat. Sedangkan UNESCO sudah menetapkan Tari Rejang, Sanghyang Dedari, dan Baris Upacara yang digolongkan sebagai tarian sakral (Tari Wali) sebagai bagian Warisan Budaya Tak Benda UNESCO, dari sembilan tarian yang sudah ditetapkan.
Menurut dia, terkait usulan sebelumnya dari Dinas Kebudayaan Provinsi Bali agar Tari Wali bisa dipentaskan di Pura Sad Kahyangan, memerlukan pertimbangan yang matang.
"Mana yang bisa dipentaskan di Sad Kahyangan, dan mana yang tidak. Jika dipaksakan akan menjadi panas situasi, padahal tujuannya untuk kemuliaan," ujar Sudiana.
Selain itu, dia pun mengingatkan sesungguhnya berat untuk mempertahankan identitas dari masing-masing tarian tersebut serta pemanfaatannya karena sudah diakui dunia sehingga banyak pihak yang akan memantau.
"Bagi upacara yang berkaitan dengan sembilan tarian itu, mohon agar tetap menjaga bagaimana ciri-ciri tari tersebut yang sebenarnya, agar tidak sampai diselewengkan seperti Joged Bumbung belakangan menjadi joged seronok," ucapnya.
Pihaknya pun sudah menyampaikan pada para "pemangku" atau pemuka umat mengenai sembilan tarian tersebut untuk kemudian diteruskan pada seluruh pangemong atau penanggung jawab pura agar menyampaikan pada masyarakat supaya berbagai tarian itu tidak keluar pakem yang menjadi ciri khas tarian masing-masing.
"Kami khawatirkan jika keluar dari pakem, maka yang terjadi itu kritikan. Kalau melakukan kreasi, maka harus berkoordinasi dulu dengan seniman yang sudah mempunyai reputasi yang bagus," kata Sudiana.
Sebelumnya Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali Dewa Putu Beratha mengatakan untuk upaya pelestarian tari, tidak cukup juga hanya melalui pendidikan, yang terpenting pemerintah bisa menciptakan dan memberikan ruang wadah sehingga tarian tersebut tetap bisa dipentaskan.
Terkait Tari Wali yang hanya bisa dipentaskan dalam upacara keagamaan, pemerintah pun masih bisa memfasilitasi. "Ini yang perlu kita komunikasikan, sehingga pada upacara besar di Pura yang berstatus Sad Kahyangan wajib dipentaskan tarian itu, karena di ajang Pesta Kesenian Bali kan tidak mungkin untuk dipentaskan," kata Dewa Beratha.
Pewarta: Ni Luh Rhismawati
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2015
Tags: