Agak sulit bertemu dengan Sikdam Hasim. Kesibukan lelaki 26 tahun asal Aceh itu seolah tidak pernah berhenti. Mengajar, menjadi pembicara di forum nasional maupun internasional, mengurus lembaga swadaya.

Bulan lalu, pengajar Bahasa Inggris di Sekolah Menengah Atas Adria Pratama Mulya, Tangerang, itu diundang berbicara khusus di hadapan keluarga Kerajaan Inggris.

"Protokoler istana kerajaan mengatakan saya adalah orang Indonesia pertama yang berpidato dalam suasana seperti itu," kata pria tuna netra itu tentang pertemuan privat empat jam dia dengan keluarga Kerajaan Inggris.

Sikdam lalu menunjukkan foto dia diapit oleh lima orang, dua di antaranya Pangeran Edward Antony Richard Louis dan istrinya Putri Sophie Rhys-Jones. Pangeran Edward adalah anak bungsu Pangeran Philip dan Ratu Elisabeth.

"Pangeran Edward meminta saya untuk tidak bercerita banyak pada media, kecuali tentang saya berpidato di istana," kata Sikdam kepada Antara di rumahnya di Depok, Jawa Barat.

Sikdam berpidato di depan bangsawan Kerajaan Inggris setelah berkompetisi dengan ribuan pemuda dari seluruh dunia.

Sebelum mewakili pemuda menyampaikan pendapat di hadapan penguasa Inggris Raya, dia bersaing dengan pemuda-pemudi dari berbagai negara untuk meraih International Award for Young People dari Pangeran Philip tahun 2014. Dia adalah penyandang disabilitas pertama yang mendapatkan penghargaan tersebut.

Dia kemudian masih harus menjalani seleksi di antara peraih penghargaan dari seluruh dunia untuk mendapat kehormatan untuk masuk dan bersuara di Istana Kerajaan Inggris.

"Ketika itu kompetisi akhir diadakan di Kanada dan dinilai langsung oleh Kerajaan Inggris. Pangeran Philip kemudian meminta saya ke istananya," kata Sikdam tanpa menyebut nama Istana yang dia datangi.


Terpuruk dan bangkit

Indera penglihatan Sikdam normal sejak lahir 5 Juli 1989 sampai dia berumur 21 tahun. Semua baru berubah pada suatu siang sekitar tahun 2010, ketika dia dan temannya melakukan perjalanan di daerah Ciputat, Tangerang.

Saat itu adalah saat terakhir Sikdam Hasim bisa menikmati indahnya warna-warni dunia melalui kedua matanya karena sesudahnya mobil yang dikendarai temannya terguling, berputar hingga dua kali, membuat Sikdam pingsan seketika karena kepalanya terbentur langit-langit mobil.

"Saraf mata saya lepas dan sejak saat itu semua berubah. Pandangan mata kiri saya gelap total dan sebelah kanan hanya bisa menandai cahaya gelap atau terang. Intinya, saya tidak bisa melihat sama sekali, tuna netra," kata anak kesembilan dari 13 bersaudara itu.

Lantas kelam tiba-tiba menutupi kehidupannya. Dia terkurung dalam keadaan yang sama sekali tidak pernah dia inginkan dan tak punya daya untuk mengembalikan semua.

Satu setengah tahun dia terkungkung dalam depresi, stres berat, sampai keinginan bunuh diri sempat terlintas di benak. Dia merasa hidup tidak lagi berguna, masa depan tak berarti tanpa mata.

Titik baliknya ketika ibunda Sikdam membawanya ke panti-panti penyandang disabilitas. Di sana dia diberi tahu tentang penghuni panti yang tidak bisa melihat, tidak bisa berjalan, mengalami keterbelakangan mental, dan tidak mendapat kasih sayang keluarga.

"Lihat, Sikdam, kamu sebenarnya beruntung, Tuhan hanya mengambil matamu saja. Bandingkan dengan keadaan para penghuni panti, mereka tidak seberuntung itu," ujar Sikdam menirukan kata-kata ibunya.

Itu membuat semangat Sikdam kembali. Perlahan dia bangkit, melakukan apa yang sebelumnya pernah dia lakukan, berorganisasi dan terlibat dalam forum diskusi.

Sarjana Bahasa Inggris itu juga mengajarkan Bahasa Inggris ke anak-anak kurang mampu dan menjadi relawan beberapa yayasan tanpa mengharap bayaran.

Tentangan dari sanak saudara tidak menghentikan upayanya membantu orang lain.

"Ada saudara yang bilang, 'untuk apa memikirkan orang lain yang tidak peduli denganmu?'. Saya pribadi tidak peduli," tutur dia.

Lewat upaya-upayanya, juga prestasinya, Sikdam ingin menyuarakan kepentingan para penyandang disabilitas, membawa sedikit terang ke dunia gelap mereka.


Pengakuan

Keterlibatan Sikdam dalam banyak kegiatan sosial, baik terkait disabilitas maupun tidak, membawanya ke kancah internasional.

Tahun 2013 dia mewakili Indonesia di Konferensi Global Pemuda Penyandang Disabilitas di Kenya, Afrika. Tahun itu dia juga membentuk Disabilities Youth Centre Indonesia dan menjadi ketuanya.

Lembaga swadaya beranggotakan ribuan penyandang disabilitas usia 12-30 tahun dari Aceh sampai Papua itu dibentuk untuk membela kepentingan kaum difabel.

Tahun 2014, bulan Februari dia mendapat International Award for Young People dari Pangeran Philip dan pada Agustus menjadi salah satu pembicara di International Youth Day Conference, dan pada Oktober menjadi pembicara di Indonesian Youth Conference.

Bulan Juli 2015, dia mengikuti International Study Program 2015 di Korea Selatan dan dua kali berkesempatan menyampaikan pidato tentang disabilitas di hadapan parlemen Korea Selatan.

Pada November 2015, dia berpidato di depan Keluarga Kerajaan Inggris. Tahun ini dia juga mewakili pemuda Indonesia dalam International Conference of Family Planning 2015 di Nusa Dua, Bali.

Dalam konferensi itu, Sikdam akan terlibat dalam sesi pertemuan bersama para pemimpin dunia. "Saya akan bersuara lantang tentang disabilitas," ujar dia.

Sikdam merasa lebih banyak mendapatkan tempat untuk menyuarakan kepentingan kaum difabel di kancah internasional ketimbang di dalam negeri.

"Padahal saya sangat ingin menyuarakan tentang disabilitas di Indonesia, kalau bisa bertemu menteri, DPR atau kalau tidak DPRD saja pun tidak masalah. Namun anggota dewan lebih senang membicarakan masalah-masalah yang tidak penting," tutur Sikdam, yang dua kali seminggu mengajar Bahasa Inggris di sebuah sekolah menengah atas.

Pengalaman berkeliling dunia menyuarakan kepentingan penyandang disabilitas membuat Sikdam menyimpulkan bahwa Indonesia tidak ramah terhadap kaum difabel dengan pola pikir masyarakat yang cenderung diskriminatif dan pemerintah yang kurang peduli.

Padahal, menurut pria yang gemar membaca buku biografi tokoh dunia itu penyandang disabilitas bisa menjadi aset berharga jika pemerintah peduli dan memberikan perhatian yang dibutuhkan.

"Kalau negara peduli, penyandang disabilitas bisa menjadi aset berharga. Jangan jadikan kami sebagai objek proyek saja," katanya.

Namun dia meminta penyandang disabilitas tidak berkecil hati dengan kondisi dalam negeri saat ini. Ia ingin mereka tetap menjaga harapan dan tidak pernah meninggalkan cita-cita.

"Yakinlah Tuhan pasti memberikan jalan. Yang Maha Esa tidak akan mengubah nasib sebelum kita berusaha mengubah nasib kita sendiri. Mari tunjukkan prestasi!" kata Sikdam.