Palu (ANTARA News) - Pengamat Politik menilai UU No 08 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang dinilai lemah.

Ada hal-hal yang dinilai menguntungkan calon petahana yang maju pada Pilkada serentak tahun ini. Salah satunya adalah tidak diwajibkannya calon kepala daerah yang maju di daerah itu untuk mengundurkan diri dari jabatannya, kata Dr Darwis, pengamat politik dan dosen FISIP Untad, di Palu, Selasa.

"Pada Pasal 7 UU tersebut, mereka yang wajib mengundurkan diri jika maju sebagai calon kepala daerah di daerah lain," tambah Darwis.

Kemenangan yang diraih petahana di sejumlah daerah, salah satunya akibat lemahnya undang-undang tersebut, kata dia,.

"Kita berharap, pada Pilkada selanjutnya, undang-undang ini direvisi, karena di situlah peran incumbent/petahana untuk mendapatkan peluang politik yang cukup baik," katanya.

Seharusnya, lanjut dia, bukan hanya pejabat PNS, pegawai BUMN/BUMD, TNI/Polri dan legislator yang diharuskan mengundurkan diri manakala sudah menjadi calon kepala daerah, melainkan kepala daerah yang ada saat itu, juga mesti mengundurkan diri.

"Sehingga demokrasi kita benar-benar berkualitas, artinya ada pertarungan yang bersih. Tidak seperti ini. incumbent terlalu mendapatkan peluang," tekannya.

Artinya, kata dia, incumbent yang mencalonkan diri masih bias berkedok dari program-program pemerintah yang dibawanya, sehingga mempermudah sosialisasi di tengah masyarakat, dan pastinya bertambah dikenal.

"Kalau begini terus, incumbent pasti terus diuntungkan, apalagi sekarang bisa dilihat dari naiknya dana bansos dan lainnya. Itulah yang sulit sekali kita deteksi, jadi kemenangan incumbent karena kelemahan undang-undang ini," katanya.

Padahal secara logika kata dia, incumbent sudah terlebih dahulu melakukan sosialisasi selama lima tahun menjabat melalui tugas pokoknya sebagai kepala daerah.

"Jadi kalau menang berangkat dari nol, maka pertarungan makin bagus dan berkualitas," tambahnya.

Dosen Sistem Kepartaian Indonesia itu juga menyinggung menurunnya tingkat partisipasi masyarakat dalam menyuarakan hak pilihnya. Menurut dia, hal itu lebih pada persoalan individu figur.

Selain itu kata dia, juga adanya kejenuhan masyarakat, karena yang selalu tampil adalah figure yang sama, tidak ada sirkulasi poitik yang melahirkan seorang pemimpin yang betul-betul ingin berjuang dan memiliki sifat negarawan.

Oleh karena itu, partai dan elit politik kita perlu mengintropeksi diri bahwa sebaiknya perlu membangun etika politik yang semakin bagus, ini juga berkaitan dengan system pengkaderan di tingkat partai.

"Saya kira kaderisasi sangat penting, namun etika politiklah yang paling penting. Elit politik yang bercokol di partai harus merekonstruksi kembali etika politik itu mencari figur yang memang layak dijual dan bermoral, menjunjung tinggi etika politik tanpa melihat ada uang atau tidak. Partai harus legowo mencari figur yang mengakar tanpa melihat adanya 'Mahar'," katanya.

Sistem mahar itulah kata dia yang menggerus kualitas demokrasi. Ada orang yang memiliki ketokohan tapi tidak miliki uang, maka tidak dipilih.

Selanjutnya, bagaimana melahirkan sistem desentralisasi politik, tidak mesti DPP partai di tingkat pusat yang menentukan calon siapa saja yang diusung. Karena yang ada saat ini siapa yang bermitra menjadi kewenangan DPP untuk menentukan, hanya karena persoalan mahar politik itu.

"Ini juga yang membuat masyakat kecewa dan menurunkan partisipasi itu, juga membuat konflik internal partai di tingkat bawah," katanya.

Intinya kata dia, kurangnya partsipasi adalah sebuah sikap politik masyarakat itu sendiri.

"Dan kita tidak bisa menyalahkan masyarakat, justru ini menjadi instrospeksi pemerintah, elit politik kita harus betul-betul menggerus politik pragmatis yang notabene melahirkan politik transaksional dan melahirkan pemimpin yang tidak amanah," imbuhnya.