Jakarta (ANTARA News) - Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan konstitusi yang merupakan kesepakatan suatu bangsa seperti UUD 1945 bagi bangsa Indonesia, terbentuk berdasarkan kebutuhan yang didasarkan pada kondisi zaman sehingga sifatnya dinamis.

"Kita semua memahami bahwa konstitusi atau UUD sebagai kesepakatan bangsa menjadi hukum dasar dan sumber hukum tertinggi bangsa ini, tentu sangat dinamis..

Konstitusi tentunya dibentuk dan didasari kondisi pada zamannya dan kebutuhan-kebutuhan pada waktu itu dan masa mendatang," kata Jusuf Kalla dalam acara Simposium Kebangsaan "Refleksi Nasional Praktek Konstitusi dan Ketatanegaraaan Pasca Reformasi" di Gedung Nusantara IV, Komplek MPR/DPR/DPD RI di Jakarta, Senin.

Wapres memaparkan, dalam pembukaan UUD 1945 juga telah tercermin tujuan Indonesia berbangsa dan bernegara antara lain bahwa pemerintah haruslah melindungi seluruh warga, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta turut serta menjaga ketertiban dunia.

Kalla mengakui bahwa hal-hal tersebut merupakan tugas yang tampaknya terlihat sederhana tetapi sebenarnya tidak mudah karena banyak hal yang mesti dilakukan guna mewujudkannya.

Terkait dengan reformasi, Wapres mengenang bahwa gerakan reformasi terjadi dalam lintasan sejarah Indonesia antara lain karena ada sejumlah masalah yang ingin diperbaiki.

"Pertama, ingin mengubah dari suasana otoriter menjadi lebih demokratis," katanya dan menambahkan, demokrasi bukan sistem yang paling sempurna tetapi digunakan karena sistem yang dinilai paling kurang masalahnya.

Selain itu, ujar dia, hal lainnya yang ingin diubah adalah memberdayakan suara demokrasi dari bawah sehingga timbullah perubahan dari sistem yang bersifat sentralistik menjadi sistem yang berpegang teguh kepada otonomi daerah.

Wapres juga berpendapat bahwa terkait dengan refleksi konstitusi dan ketatanegaraan, perencanaan pembangunan pada saat ini sebenarnya bisa dikontrol melalui undang-undang, serta selain itu setiap tahun juga digelar musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang) baik dari tingkat kabupaten/kota, provinsi, hingga nasional.

Untuk itu, ujar Jusuf Kalla, yang harus diubah dan diawasi ketat adalah praktek dalam melaksanakan rencana pembangunan karena selama ini Mahkamah Konstitusi (MK) dinilai sudah bekerja sangat baik dalam menjaga sehingga UU tidak bertentangan UUD.

Sementara itu, Ketua MPR Zulkifli Hasan mengungkapkan perlunya reviltalisasi transformasi untuk memulihkan kembali kondisi bangsa agar lebih kuat, sehat, dan bersemangat dengan berpegang kepada nilai-nilai bangsa yaitu Pancasila.

"Dalam rangka mendalaman demokrasi dalam revitalisasi transformasi, Badan Pengkajian MPR telah menginvetarisasi isu-isu kunci dan memformulasikan dalam empat pokok permasalahan," kata Zulkifli Hasan.

Ketua MPR memaparkan, masalah itu adalah perlunya mewujudkan sistem perencanaan yang benar-benar terencana secara nasional, bagaimana memperkokoh ideologi bangsa dalam era global, bagaimana memaknai kebhinekaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, serta perlunya meninjau ulang praktek ketatanegaraan dan konstitusi pascareformasi.

Dia mengakui bahwa era reformasi ada dampak positif seperti pemerintahan terpilih hasil pemilu yang relatif bebas dan berkala, kebebasan berkumpul dan bereskpresi munculnya lembaga baru yang menjadi harapan publik, desentralisasi dan otonoi daerah, serta pilkada secara kompetitif.

"Meski dengan pencapaian positif kita perlu waspada tahap awal menuju konsolidasi kemajuan bangsa memperhatikan segi-segi substantif," katanya.

Zulkifli mencontohkan, pada tingkat tingkat kultural, pada era reformasi politik secara teknik mengalami kemajuan, tetapi politik secara etik mengalami kemunduran.

Selain itu, ujar dia, pada tingkat struktural adanya kecenderungan mengadopsi model liberal padat modal tanpa menyesuaikan dengan kondisi masyarakat Indonesia yang justru dapat melemahkan demokrasi itu sendiri.

"Kita semua menyadari ada banyak masalah yang dihadapi meski demikian kita tidak boleh putus harapan. Kita temukan warisan terbaik pendiri bangsa adalah politik harapan bukan politik ketakutan," katanya dan menambahkan, bila kehilangan harapan maka hal tersebut sama saja dengan kehilangan identitas sebagai bangsa Indonesia.