Paris (ANTARA News) - Utusan Khusus Presiden untuk Penanggulangan Perubahan Iklim Rachmat Witoelar mengatakan terlalu banyak negosiator bayaran di Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim (Conference of Parties/COP) 21 sehingga membuat proses negosiasi berjalan lambat.

"Kenapa negosiatornya bisa beda (dengan komitmen yang disampaikan Kepala Negara dan Pemerintahan), ini karena negosiatornya bayaran," kata Rachmat Witoelar di ruang rapat Delegasi Indonesia di COP 21, Paris.

Para negosiator ini masih berpikiran business as usual (BAU) dalam menyelesaikan persoalan perubahan iklim. Ini yang, menurut dia, menjadi musuh dalam mencapai Kesepakatan Paris (Paris Agreement).

"Kalau negosiator Indonesia aman, sudah dikoordinasikan oleh Bu Nur (Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nur Masripatin), rasanya semua merah putih. Semua sepertinya inline dengan apa yang disampaikan Presiden," katanya.

Dengan kondisi negosiasi yang berjalan sangat lambat, menurut dia, format perundingan di level Menteri akan sedikit berubah dan bisa berakhir dengan deal making.

"Itu tidak baik karena mengingkari kebutuhan semua untuk mencapai satu keputusan peningkatan suhu dua derajat celsius. Saya himbau (negosiator) lakukan sesuai komitmen Kepala Negaranya," ujar dia.

Ia mengatakan dirinya dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehuanan Siti Nurbaya akan melakukan negosiasi "bersandar" kuat dari apa yang sudah dibangun oleh tim negosiator sebelumnya.

Yang jelas, Rachmat menegaskan differentiation tidak bisa dilangkahi. Tugas Menteri untuk membuka kebuntuan-kebuntuan yang muncul di minggu pertama negosiasi COP 21.