Jakarta (ANTARA News) - Menteri Pertanian Amran Sulaiman mendorong swasta yang bergerak di bidang pertanian agar semakin banyak menebarkan benih ke petani guna meningkatkan produktivitas pertanian.

"(Kebutuhan akan) benih pasti akan terus meningkat," kata Mentan setelah bersama para direksi BUMN Sang Hyang Seri menemui Wakil Presiden Jusuf Kalla di Kantor Wapres, Jakarta, Rabu.

Pemberian benih padi itu, ujar dia, juga diharapkan dapat meningkatkan produktivitas padi para petani di berbagai daerah menjadi sekitar 10 ton per hektare.

Terkait dengan perbedaan data antara Kementerian Pertanian dan Badan Pusat Statistik (BPS) yang dipersoalkan di sejumlah media massa, Mentan menepisnya. "Mungkin hanya perbedaan sedikit. Sekarang yang kita pentingkan benih dan kerja, kerja, kerja," katanya.

Ia mengatakan, dari total luasan panen di Indonesia sekitar 14 juta hektare, diharapkan tahun depan bisa mencapai hingga 14,5 juta hektare.

Sebelumnya, kalangan petani jagung yang tergabung dalam kelompok Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) mengharapkan pemerintah segera memberikan izin memanfaatkan benih bioteknologi untuk meningkatkan produktivitas tanaman mereka.

"Dengan kondisi iklim kekeringan saat ini diperlukan benih jagung yang tahan kekeringan," kata Wakil Ketua KTNA Provinsi Jawa Timur Muchsin yang ditemui di sela Rembuk Paripurna KTNA di Boyolali, Jawa Tengah, Minggu (8/11).

Menurut Wakil Ketua KTNA Jatim, benih bioteknologi memiliki kelebihan tahan kekeringan. Selain itu, tidak memerlukan olah tanah untuk menanam benih tersebut.

Rembuk Paripurna KTNA 2015 berlangsung sejak 5--8 November di Asrama Haji Donohudan mengagendakan pemilihan Ketua Umum organisasi tani dan nelayan tersebut untuk periode lima tahun mendatang.

Muchsin yang juga Ketua KTNA Kabupaten Jember itu menyatakan bahwa pihaknya pernah melakukan percobaan menanam jagung bioteknologi, hasilnya ternyata lebih menguntungkan dibandingkan benih yang dibudidayakan selama ini.

Menurut dia, penggunaan benih hasil rekayasa genetika tersebut mampu menghemat biaya olah tanah sebesar Rp1 juta per hektare, itu belum termasuk penurunan biaya penggunaan pestisida yang menurun.

Meski demikian, kata dia, hasil produksinya tersebut kemudian dibuang karena hingga saat ini belum ada izin dari pemerintah terhadap penggunaan benih tersebut.