"Ini momentum yang menentukan setelah Protokol Kyoto dan seluruh pemerintahan dunia harus menentukan langkah signifikan guna menurunkan suhu bumi di bawah 1,5 derajat celsius dari sebelum masa industri," kata Eksekutif Nasional Walhi, Kurniawan Sabar di Paris, Minggu.
Ia mengatakan kelompok masyarakat sipil mendesak agar COP 21 Paris menghasilkan kesepakatan yang kuat untuk merumuskan langkah-langkah penurunan emisi.
Selama ini menurut dia, masyarakat sipil menilai Protokol Kyoto terus diperlemah dengan tekanan dari sistem ekonomi politik kapitalistik yang menjadikan isu perubahan iklim sebagai peluang baru bagi korporasi dan negara industri untuk semakin mengakumulasi modal.
"Kelompok pemodal justru dianggap sebagai malaikat khususnya dalam mitigasi perubahan iklim melalui REDD," ujarnya.
Sementara krisis dunia terus terjadi, penanganan perubahan iklim jalan di tempat dan tidak ada kemajuan yang signifikan. Karena itu, paradigma ekonomi dan pembangunan dunia juga harusnya berubah.
Pada COP 21 menurut Kurniawan, Indonesia akan menjadi sorotan. Bukan karena keberhasilan pemerintah memenuhi komitmen untuk menurunkan emisi 26 persen dengan upaya sendiri dan 41 persen dengan bantuan internasional pada 2020 tapi karena sumbangan emisi dari kebakaran hutan dan lahan gambut.
Jika sumber emisi gas rumah kaca Indonesia terbesar berasal dari pembukaan hutan dan lahan atau Land Use Land Use Change and Deforestation (LULUCF), maka peristiwa kebakaran hutan dan lahan justru menjadi tamparan keras bagi pemerintah Indonesia.
Artinya, selama ini nyaris tidak ada pembenahan tata kelola hutan dan gambut, bahkan di balik kemasan REDD sekalipun atau dengan kemasan restorasi ekosistem.
"Kalimantan Tengah yang dijadikan sebagai provinsi percontohan REDD justru tingkat kebakaran hutan dan lahan paling parah di sana," ujarnya.
Kondisi ini menunjukkan bahwa solusi penanganan perubahan iklim yang diaksanakan selama ini hanya melahirkan krisis.
Direktur Walhi Riau, Riko Kurniawan menambahkan bahwa COP 21 Paris menjadi momentum bagi Indonesia untuk mengubah paradigma dalam pengelolaan sumber daya alam.
"Berikan kepastian alas hak atau hak tenurial kepada rakyat dalam mengelola sumber-sumber kehidupannya yang selama ini terbukti ampuh dalam mitigasi perubahan iklim," katanya.
Lebih lanjut, Walhi berharap kehadiran Presiden Joko Widodo ke COP 21 dan pidatonya di UNFCCC untuk menyampaikan komitmen menurunkan emisi gas rumah kaca dengan acuan yang jelas dan menghitung dari kebakaran hutan dan lahan serta emisi dari sektor energi kotor seperti batu bara.
Baca : Presiden Jokowi akan sampaikan kontribusi RI pada COP 21
Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim akan dibuka pada Senin, 30 November di Le Bourget, Paris.
Presiden Joko Widodo dijadwalkan hadir di Paris dan menyampaikan pandangan dan posisi Indonesia mengenai berbagai isu terkait perubahan iklim dan menyerahkan dokumen "Intended Nationally Determined Contributions" (INDC) atau komitmen nasional semua negara terhadap perubahan iklim.
Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim akan dibuka pada Senin, 30 November di Le Bourget, Paris.
Presiden Joko Widodo dijadwalkan hadir di Paris dan menyampaikan pandangan dan posisi Indonesia mengenai berbagai isu terkait perubahan iklim dan menyerahkan dokumen "Intended Nationally Determined Contributions" (INDC) atau komitmen nasional semua negara terhadap perubahan iklim.
Baca : INDC, bekal Indonesia hadapi perubahan iklim
Indonesia berkomitmen mengurangi emisi 29 persen pada tahun 2030.
Indonesia berkomitmen mengurangi emisi 29 persen pada tahun 2030.