Indonesia hadapi dua isu di COP-21 Paris
KTT Perubahan Iklim Utusan Khusus Presiden Bidang Perubahan Iklim Rachmat Witoelar (kedua kanan) bersama Sekretaris Kabinet Pramono Anung (kiri), Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya (kanan) dan Ketua Dewan Pengarah Pengendalian Perubahan Iklim Sarwono Kusumaatmadja (kedua kiri) memberikan keterangan pers usai diterima Presiden Joko Widodo di Kantor Kepresidenan, Jakarta, Senin (31/8). Pertemuan tersebut membahas soal agenda yang akan dibawa oleh Indonesia di Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perubahan Iklim 2015 (COP21) di Paris, Prancis pada Desember 2015. (ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf) ()
Isu pertama adalah pengelolaan hutan gambut pascakebakaran yang menimbulkan emisi dan kedua, tentang rencana pemenuhan kebutuhan energi yang bersumber dari batubara.
"Pemerintah Indonesia akan mendapat sorotan karena kebakaran hutan dan lahan yang melepas emisi tinggi," kata Direktur Walhi Sumatera Selatan, Hadi Jatmiko di Paris, Perancis, Minggu.
Ia mengatakan bahwa kelompok masyarakat sipil juga terus menyuarakan tentang respon pemerintah terhadap peningkatan emisi dan deforestasi akibat kebakaran hutan dan gambut.
Pemerintah, menurut Hadi, seharusnya meningkatkan akses terhadap wilayah kelola rakyat yang terbukti bisa menjadi contoh untuk mitigasi perubahan iklim.
Termasuk dalam pengelolaan lahan gambut, menurut dia, masyarakat di Kalimantan dan Sumatera memiliki kearifan lokal sehingga tidak pernah menimbulkan kebakaran besar yang meracuni udara.
"Penguasaan lahan dan hutan di Sumatera Selatan yang masif oleh koorporasi menjadi penyebab utama kebakaran lahan gambut di sana," katanya.
Sumatera Selatan, lanjut Hadi, memiliki 1,4 juta hektare lahan gambut dan 1,2 juta hektare telah dikuasai oleh perusahaan perkebunan skala besar.
Berdasarkan data Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) menyebutkan luas lahan yang terbakar di Sumatera Selatan mencapai 359 ribu hektare.
"Kami menuntut Presiden agar memprioritaskan penanganan kebakaran hutan dan penegakan hukumnya, revisi izin pemegang konsesi, perlindungan wilayah kelola rakyat, wilayah pesisir dan pulau kecil," katanya.
Selain itu, Walhi juga mendesak pemerintah agar menghentikan pengembangan tambang batu bara dan pembangkit listrik tenaga uap dari batu bara sebagai konteks penting mitigasi perubahan iklim.
Direktur Walhi Jambi Musri Nauli menambahkan bahwa langkah pemerintah menggunakan batu bara untuk energi sangat tidak populis.
"Negara-negara di dunia sudah berlomba-lomba meninggalkan batu bara dan beralih ke energi terbarukan, mengapa kita sangat terbelakang, bahkan kuno," katanya.
Seperti diketahui, pemerintah berencana membangun pembangkit listrik menggunakan uap batu bara hingga menghasilkan energi listrik sebesar 20 ribu megawatt.
Nauli mengharapkan negosiasi pemrintah Indonesia diharapkan mampu mempengaruhi kebijakan yang lahir di COP 21 untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim yang adil bagi negara berkembang, termasuk Indonesia.
Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim akan dibuka pada Senin, 30 November di Le Bourget, Paris.
Presiden Joko Widodo dijadwalkan hadir di Paris dan menyampaikan pandangan dan posisi Indonesia mengenai berbagai isu terkait perubahan iklim dan menyerahkan dokumen "Intended Nationally Determined Contributions" (INDC) atau komitmen nasional semua negara terhadap perubahan iklim.
Indonesia berkomitmen mengurangi emisi 29 persen pada tahun 2030.
Pewarta: Helti Marini Sipayung
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2015