Karanganyar, Jawa Tengah (ANTARA News) - Pada 2016-2019 nanti, kata Kepala Staf TNI AU, Marsekal TNI Agus Supriatna, banyak peralatan perang alias arsenal militer baru yang dibeli.


Ini diharapkan bisa sesuai dengan skema Kekuatan Efektif Minimum Tahap II, 2014-2019, yang ditetapkan pada masa pemerintahan Presiden Susilo Yudhoyono.



Belum semua target Kekuatan Efektif Minimum ini bisa dipenuhi negara, terutama karena keterbatasan anggaran belanja militer dari negara.




Begitupun, peralatan perang yang memerlukan dana operasi dan biaya perawatan tinggi alias boros biaya menjadi salah satu pilihan utama militer Indonesia untuk dibeli.



Seusai melantik lulusan Sekolah Pembentukan Perwira TNI AU 2015 di Lapangan Dirgantara Pangkalan Udara Utama TNI AU Adi Sumarmo, Karanganyar, Jawa Tengah, Jumat, Supriatna mengungkap salah satu yang disasar adalah satu skuadron pesawat tempur pengganti F-5E/F Tiger II di Skuadron Udara 14 TNI AU.




Disebut-sebut calon penggantinya adalah Sukhoi Su-35 atau F-16 Viper. Kedua merek ini sudah lama disebut, namun sampai sekarang kontrak pembelian belum pernah ditandatangani.




Publik mencermati proses pengadaan pesawat tempur ini, baik di media massa atau media sosial.




Pasal 43 UU Nomor 16/2012 tentang Industri Pertahanan, menyatakan, sepanjang produk pertahanan dan jasa itu belum bisa diproduksi di Tanah Air, maka boleh ditunjuk langsung.




Penunjukan langsung ini bukan tanpa kewajiban berat, tapi harus dibarengi transfer teknologi (yang relevan dengan arsenal yang dibeli), imbal dagang, penyertaan industri dalam negeri, dan kandungan komponen buatan dalam negeri minimal 85 persen,




Masih ditambah kandungan produk dalam negeri sebagaimana disebut di depan itu minimal 35 persen dengan peningkatan 10 persen setiap lima tahun, dan pemberlakuan offset paling lama 18 tahun sejak UU Nomor 16/2012 ini diberlakukan.




Hal-hal inilah yang tidak pernah diungkap pabrikan kepada publik secara terbuka, demikian juga dari pemerintah padahal dana pengadaan itu semua memakai dana rakyat dari APBN.


"Kami akan membeli pesawat tempur yang generasinya lebih modern di atas sekarang yang dimiliki TNI AU. Pesawat jenis F-16 juga yang lebih canggih dari sebelumnya atau jenis Sukhoi tipe 35," kata Supriatna.

Selain itu, TNI AU juga akan membeli helikopter angkut, pesawat angkutan berat C-130 Hercules, dan pesawat terbang multi fungsi antara lain dapat digunakan untuk SAR serta pemadam kebakaran yang dapat membawa air hingga 15 ton.

"Kami juga akan menambah pemasangan alat radar untuk menjaga kedaulatan wilayah Negara Kesatuan republik Indonesia. Pada 2016-2019 banyak peralatan akan dibeli dan kondisi baru dan lengkap," kata dia.

Menyinggung soal helikopter untuk VVIP, Supriatna mengatakan rencana sesuai anggaran akan membeli tiga unit helikopter kepresidenan, yang juga dipergunakan untuk transportasi tamu negara.



Tentang ini, disebut-sebut Agusta-Westland AW-101 Merlin yang dipilih --juga proses tender tidak diungkap kepada publik-- untuk menggantikan NAS-332 Super Puma buatan PT Dirgantara Indonesia yang selama ini dioperasikan di Skuadron Udara 45 VVIP.




Salah satu alasan pemilihan AW-101 Merlin adalah bisa dipasangi pelampung sehingga dalam keadaan darurat bisa mendarat dan mengapung di perairan.




Padahal, NAS-332 Super Puma yang juga sudah dipesan beberapa negara dari hanggar produksinya di PT Dirgantara Indonesia di Bandung, juga dipasangi pelampung itu.




AW-101 Merlin digadang-gadang tahan peluru, sementara plat-plat baja tahan peluru bisa dipasangkan pada helikopter lain sesuai keperluan.