Skema pendanaan restorasi lahan gambut disiapkan
19 November 2015 12:08 WIB
Pembuatan Embung Antisipasi Kebakaran Operator mengoperasukan beberapa alat berat untuk pembuatan embung penampung air di lahan gambut bekas kebakaran di Desa Rimbo Panjang Kabupaten Kampar, Riau, Jumat (9/10). Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melakukan pembangunan embung di lahan gambut yang berisiko kebakaran sebagai penampung air sebagai solusi memecahkan masalah kesulitan sumber air untuk regu pemadam kebakaran ketika terjadi kebakaran lahan. (ANTARA FOTO/FB Anggoro))
Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah mempersiapkan skema pendanaan yang tepat untuk merestorasi dan mengembalikan fungsi lindung dua juta lahan gambut yang ikut terbakar pada kebakaran hutan dan lahan (karhutla) 2015.
"(Pendanaannya) masih dibahas, dirancang, dan itu tidak mudah karena harus dipilah-pilah (area yang direstorasi)," kata Direktur Pengendalian Kerusakan Gambut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Wahyu Indraningsih di Jakarta, Kamis.
Ia mengatakan skema pendanaan restorasi sedang dirancang, begitu pula rencana aksi pemulihan fungsi lindung kesatuan hidrologi gambut (KHG).
"Kita inventarisasi juga karakter gambut, itu kawasan lindung atau bukan, sudah KHG atau belum, indikatif kubah (gambutnya) 30 persen dari luas area. Restorasi terutama akan dilakukan di bagian yang punya fungsi lindung atau bagian kubah (gambut)," ujar dia.
Sejumlah kebijakan dikeluarkan KLHK terkait tata kelola kawasan gambut, diantaranya tidak ada lagi eksploitasi kawasan gambut dengan tidak mengeluarkan ijin baru, mengevaluasi ijin yang telah dikeluarkan di kawasan gambut, menata ulang Rencana Kerja Tahunan Usaha (RKTU), memastikan lahan yang ditanami dikelola berbasis KHG.
Wakil Presiden Jusuf Kalla sempat mengatakan upaya pemulihan atau restorasi lahan gambut yang terbakar akan memanfaatkan dana hibah asing yang berasal dari program Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation Plus (REDD+) dari Norwegia yang berkomitmen mengucurkan dana satu miliar dolar AS, yang hingga saat ini baru terealisasi 30 juta dolar AS.
Menurut Kalla, restorasi gambut membutuhkan dana besar, dan diharapkan tidak perlu berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sumber pendanaan lain yang mungkin akan digunakan berasal dari dana pemulihan hutan dari kesepakatan perdagangan karbon dengan negara-negara maju.
Pembahasan mengenai perdagangan karbon tersebut akan dilakukan pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) tentang Perubahan Iklim (Conference of Party/COP) di Paris, Prancis, pada 30 November hingga 11 Desember 2015.
Sebelumnya Duta Besar Kerajaan Norwegia untuk Indonesia Stig Traavik sempat mengatakan kesiapan negaranya untuk bekerja sama mengatasi karhutla dan masalah gambut dengan Pemerintah Indonesia.
Traavik mengatakan akan melihat apa yang akan diupayakan Indonesia terkait persoalan tersebut, dan mempertimbangkan dukungan. Bahkan, pihaknya bersedia mendanai ahli untuk meneliti lebih lanjut guna mencari solusi pencegahan karhutla di masa depan, termasuk soal efektivitas sekat kanal yang dibuat di lahan gambut.
"(Pendanaannya) masih dibahas, dirancang, dan itu tidak mudah karena harus dipilah-pilah (area yang direstorasi)," kata Direktur Pengendalian Kerusakan Gambut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Wahyu Indraningsih di Jakarta, Kamis.
Ia mengatakan skema pendanaan restorasi sedang dirancang, begitu pula rencana aksi pemulihan fungsi lindung kesatuan hidrologi gambut (KHG).
"Kita inventarisasi juga karakter gambut, itu kawasan lindung atau bukan, sudah KHG atau belum, indikatif kubah (gambutnya) 30 persen dari luas area. Restorasi terutama akan dilakukan di bagian yang punya fungsi lindung atau bagian kubah (gambut)," ujar dia.
Sejumlah kebijakan dikeluarkan KLHK terkait tata kelola kawasan gambut, diantaranya tidak ada lagi eksploitasi kawasan gambut dengan tidak mengeluarkan ijin baru, mengevaluasi ijin yang telah dikeluarkan di kawasan gambut, menata ulang Rencana Kerja Tahunan Usaha (RKTU), memastikan lahan yang ditanami dikelola berbasis KHG.
Wakil Presiden Jusuf Kalla sempat mengatakan upaya pemulihan atau restorasi lahan gambut yang terbakar akan memanfaatkan dana hibah asing yang berasal dari program Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation Plus (REDD+) dari Norwegia yang berkomitmen mengucurkan dana satu miliar dolar AS, yang hingga saat ini baru terealisasi 30 juta dolar AS.
Menurut Kalla, restorasi gambut membutuhkan dana besar, dan diharapkan tidak perlu berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sumber pendanaan lain yang mungkin akan digunakan berasal dari dana pemulihan hutan dari kesepakatan perdagangan karbon dengan negara-negara maju.
Pembahasan mengenai perdagangan karbon tersebut akan dilakukan pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) tentang Perubahan Iklim (Conference of Party/COP) di Paris, Prancis, pada 30 November hingga 11 Desember 2015.
Sebelumnya Duta Besar Kerajaan Norwegia untuk Indonesia Stig Traavik sempat mengatakan kesiapan negaranya untuk bekerja sama mengatasi karhutla dan masalah gambut dengan Pemerintah Indonesia.
Traavik mengatakan akan melihat apa yang akan diupayakan Indonesia terkait persoalan tersebut, dan mempertimbangkan dukungan. Bahkan, pihaknya bersedia mendanai ahli untuk meneliti lebih lanjut guna mencari solusi pencegahan karhutla di masa depan, termasuk soal efektivitas sekat kanal yang dibuat di lahan gambut.
Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Desy Saputra
Copyright © ANTARA 2015
Tags: