Koalisi pemantau peradilan pertanyakan penelusuran aset Supersemar
Ilustrasi. Kasus Penyelewengan Beasiswa Supersemar. Juru Bicara Mahkamah Agung Suhadi memberikan keterangan pers terkait kasus penyelewengan dana beasiswa Supersemar dengan tergugat mantan Presiden Soeharto dan Yayasan Supersemar di Kantor Mahkamah Agung, Jakarta, Selasa (11/8/15). Dalam keterangannya, permohonan peninjauan kembali (PK) yang diajukan pemerintah terhadap Yayasan Supersemar telah berkekuatan hukum tetap dan mengikat sehingga Soeharto dan ahli warisnya beserta Yayasan Supersemar harus membayar sekitar Rp 4,38 triliun kepada negara. (ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan)
"Sampai saat ini belum ada informasi terbaru dari eksekusi Supersemar," kata Koordinator Divisi Hukum Indonesia Corruptiom Watch (ICW) Lalola Easter dalam diskusi "Catatan Kinerja Kejaksaan Paska Satu Tahun H M Prasetyo" di Gedung Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta, Rabu.
Koalisi ini merupakan gabungan dari Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia (Mappi FH UI), PSHK, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras).
Lalola mengatakan, Kejaksaan Agung seharusnya membuka akses data kemajuan penelusuran aset Yayasan Supersemar yang telah dilakukan sehingga publik dapat mengetahui sejauh mana perkembangannya.
Peneliti dari Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia FH UI Dio Ashar mengatakan, Kejaksaan Agung seharusnya memberikan informasi perkembangan penelusuran aset Yayasan Supersemar secara terbuka.
"Ya, seharusnya data dan hasil penelusuran aset Supersemar dibuka ke publik. Kan sudah diatur mana informasi yang bisa dan tidak bisa diakses publik. Jika tidak ingin dianggap lamban menangani perkara tersebut, Kejagung harus membuka informasi sebesar-besarnya," kata Dio.
Selain keterbukaan informasi, Koalisi Pemantau Peradilan juga menilai kinerja kejaksaan yang belum maksimal karena masih adanya tunggakan piutang uang pengganti hasil korupsi.
Berdasarkan data Badan Pemeriksa Keuangan 2014, Kejaksaan Republik Indonesia masih belum menagih uang pengganti dari perkara korupsi yang sudah diputuskan senilai kurang lebih Rp13 triliun.
"Piutang yang tidak tertagih dari putusan pidana korupsi yang di dalamnya ada uang pidana pengganti ada kurang lebih Rp13 triliun," ujar Peneliti dari ICW Lalola Easter.
Ia mengatakan, Kejaksaan Agung harus bekerja cepat jika tidak ingin dikatakan lamban karena dalam penagihan uang pengganti hasil korupsi saja belum tuntas.
Sebelumnya, dalam Peninjauan Kembali yang dijatuhkan pada 8 Juli 2015 tersebut, Soeharto dan ahli warisnya serta Yayasan Supersemar harus membayar 315 juta dolar AS dan Rp139,2 miliar kepada negara atau sekitar Rp4,4 triliun dengan kurs saat ini.
Pada tanggal 27 Maret 2008, PN Jakarta Selatan memutus Yayasan Beasiswa Supersemar bersalah menyelewengkan dana dan diperkuat oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.
Pewarta: Martha Herlinawati Simanjuntak
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2015