Makassar (ANTARA News) - Legislator Komisi ll DPR-RI Luthfi Andi Mutty menilai dana bantuan sosial saat ini rawan disalahgunakan atau diselewengkan, khususnya bagi kabupaten yang menggelar pemilihan kepala daerah.

"Ini adalah kebiasaan yang sering terjadi di mana dana bansos selalu naik secara signifikan pada tahun-tahun tertentu, apalagi jelang Pilkada," kata Luthfi Andi Mutty yang dikonfirmasi dari Makassar, Senin.

Dia mengatakan, penggunaan dana bantuan sosial (bansos) baik yang ada dalam APBD Pokok maupun APBD Perubahan harus diawasi secara ketat, utamanya di daerah-daerah yang akan menggelar Pilkada serentak 9 Desember mendatang.

Menurut Luthfi, berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 39 Tahun 2012, secara tegas disebutkan bahwa tidak ada keharusan sebuah daerah mengalokasikan anggaran dana bansos atau dana hibah.

Selain itu, pada Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014 menegaskan, alokasi dana bansos dan hibah di APBD Pokok ataupun APBD Perubahan baru bisa dilakukan kalau anggaran untuk urusan wajib pembiayaan sudah cukup.

"Karena pemberian dana bansos dan hibah itu tidak bisa berulang pada satu lembaga, maka harusnya anggaran bansos dalam APBD dari tahun ke tahun harus makin kecil," terang mantan Bupati Luwu Utara dua periode tersebut.

Luthfi menegaskan, kalau ketentuan itu dilanggar, gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) telah gagal melaksanakan fungsi evaluasi dan kontrol atas APBD.

"Banyak kejadian yang menunjukkan bahwa kasus bansos selalu korupsi berjamaah, karena merupakan buah dari persekongkolan jahat antara eksekutif dan legislatif," terang Ketua DPW Partai Nasdem Sulsel itu.

Sementara itu, Komite Pemantau Legislatif (Kopel) mencurigai jika penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Perubahan (APBD-P) 2015 rawan dengan kepentingan petahana karena masih berstatus sebagai kepala daerah aktif.

"Hampir seluruh daerah itu penyerapan anggarannya hingga saat ini belum memenuhi target, belum maksimal. Ini akan sangat rawan jika tidak diawasi secara ketat," ujar Koordinator Divisi Advokasi Masyarakat Sipil Komite Pemantau Legislatif (Kopel) Sulsel, Musaddaq beberapa waktu lalu.

Dia mengatakan, penyusunan APBD-Perubahan 2015 yang biasanya dilakukan Agustus atau Oktober perlu mendapat pengawasan karena berpotensi disusupi kepentingan calon bupati berstatus petahana.

Menurut dia, calon petahana sangat berpotensi mengubah postur APBD-Perubahan sehingga mendukung program yang dilempar demi mengambil hati pemilih.

Dengan demikian, lanjut Musaddaq, program-program populis petahana cenderung lebih banyak ketimbang pogram yang menjadi prioritas daerah. Belum lagi dalam penyusunan RAPBD-P juga rentan terjadinya deal politik antara pengusaha dengan calon petahana.

Dia mencontohkan, sumbangan berupa dana kampanye dari pengusaha bisa saja dikembalikan dengan alokasi anggaran proyek infrastruktur.

"Jadi anggaran siluman itu berpotensi terjadi untuk kepentingan politik. Bukan hanya di Sulsel saja, melainkan di seluruh daerah di Indonesia yang menggelar Pilkada," ujarnya.