Jakarta (ANTARA News) - Kuatnya tradisi dan cara pandang masyarakat, terutama di pedesaan, masih menjadi pendorong bagi sebagian anak perempuan menikah dini, sebut penelitian terbaru yang dilakukan Plan International, LSM yang memperhatikan masalah anak.

Menurut siaran pers Plan yang diterima di Jakarta, Rabu, penelitian ini menunjukkan bahwa pernikahan anak, termasuk yang berusia 12 - 14 tahun masih terjadi karena adanya dorongan dari sebagian masyarakat, orang tua, atau bahkan anak yang bersangkutan.

Hasil penelitian yang menjadi dokumen laporan Plan International bertajuk Getting the Evidence: Asia Child Marriage Initiative ini dilakukan Plan dan lembaga penelitian berbasis di Inggris, Coram International di Indonesia, Banglades dan Pakistan.

Hasil penelitian menyimpulkan, penyebab utama pernikahan anak adalah rendahnya akses pendidikan, kesempatan di bidang ekonomi, serta kualitas layanan dan pendidikan kesehatan reproduksi, terutama untuk anak perempuan.
Selain itu tingkat kemiskinan juga turut menentukan situasi pernikahan anak.

Di beberapa wilayah survei, masih ada pembenaran tindak kekerasan seksual yang dilakukan laki-laki. Di kalangan laki-laki di Banglades, misalnya, ada anggapan bahwa mereka harus menikahi perempuan yang jauh lebih muda.
Dengan demikian, mereka bisa mengatur sang isteri, dan mereka yakin dengan begitu hasrat seksual mereka juga terpenuhi. Sebaliknya, jika anak perempuan tidak segera menikah, maka dia akan menjadi gunjingan atau dianggap tidak laku.

Dari ketiga negara yang disurvei, perkawinan usia anak paling parah terjadi di Banglades, di mana 73 persen anak perempuan menikah sebelum usia 18 tahun. Sebanyak 27 persen anak perempuan berusia 12 sampai 14 tahun sudah menikah. Sedangkan laki-laki di usia yang sama, yang menikah hanya 2,8 persen.

Di Indonesia, 38 persen anak perempuan di bawah usia 18 tahun sudah menikah. Persentase laki-laki di usia yang sama yang sudah menikah hanya 3,7 persen.

Pakistan adalah yang terendah, di mana hanya 34,8 persen saja anak perempuan usia di bawah 18 tahun yang menikah, dengan 15,2 persen menikah di bawah usia 15 tahun.

Direktur Regional Plan International Asia, Mark Pierce mengatakan, pernikahan usia anak terus terjadi karena kuatnya diskriminasi gender, ketergantungan ekonomi anak perempuan, serta kuatnya tradisi.

"Namun, penelitian ini menunjukkan bahwa perubahan sikap atas penerimaan pernikahan anak bukanlah tantangan yang tidak dapat diatasi. Kombinasi dari pendidikan, pemberdayaan ekonomi, akses layanan kesehatan reproduksi, dan penegakkan hukum dan kebijakan perlindungan anak akan menghasilkan perbedaan substantif," jelas Mark.

Laporan ini juga menyimpulkan bahwa intervensi dari LSM, kelompok-kelompok masyarakat, pemerintah, serta dukungan di tingkat perorangan, keluarga dan masyarakat akan memberikan dampak positif.

Menurut Mark Pierce, laporan ini juga menjadi pedoman bagi Plan dalam mendesain program dan advokasi yang berkaitan dengan isu pernikahan usia anak di Banglades, Pakistan dan Indonesia. "Plan percaya bahwa usia minimal untuk menikah adalah 18 tahun, sebagai mana dinyatakan dalam konvensi Hak-hak Anak PBB," kata Mark Pierce.