Surabaya (ANTARA News) - Konsulat Jenderal AS di Surabaya memperingati Hari Pahlawan 2015 dengan mendiskusikan kepahlawanan bersama dua generasi yakni Kapten Mukari (91) dan lima "pahlawan" muda.

"Hari ini merupakan hari yang penting bagi Indonesia dan khususnya Surabaya," kata Konsul Jenderal AS di Surabaya, Heather Variava di Gedung Konsulat di Surabaya, Selasa.

Oleh karena itu, pihaknya juga turut memperingatinya. "Selasa (10/11) pagi, saya juga mengikuti Upacara Hari Pahlawan bersama Presiden Jokowi dan Gubernur Jatim Soekarwo," katanya.

Dalam diskusi kepahlawanan bertajuk "Heroes Among Us" itu tampil enam pembicara yakni Kapten Mukari (Korps Cacat Veteran Indonesia), dan Fitroni Amirul Ramadhani alias Oni (desainer grafis).

Selain itu, Muhammad Taufik alias Mak (seniman kerajinan tangan), Puji Lestari alias Tari (perancang busana), Mohammad Eddy alias Bogel (atlet gulat), dan Slamet Santoso alias Metty (pelatih atletik).

Kelima "pahlawan muda" itu berasal dari Yayasan Arek Lintang (Alit) Surabaya yang telah bangkit dari masa lalu dari anak jalanan, remaja putus sekolah, dan kalangan kurang beruntung (marginal).

Dalam kesempatan itu, Mukari menceritakan dirinya berasal dari Polisi Istimewa (PI) yang dalam satu kelompok ada 200 anggota. "Sekarang hanya tinggal dua orang, termasuk saya," katanya.

Menurut dia, hal terpenting dari kepahlawanan adalah keberanian dalam berjuang, termasuk berani untuk mati. "Tujuan bertindak pun satu yakni untuk bangsa, bukan untuk pribadi seperti uang," katanya.

Sementara itu, Fitroni Amirul Ramadhani alias Oni mengatakan dirinya sebagai alumni Unair yang bergerak di bidang desainer grafis tertarik untuk mengajak teman-teman sekampung yang menganggur dan hidup di jalanan untuk bergabung.

"Akhirnya, saya mampu mengajak tujuh orang teman agar tidak hidup di jalanan dan mabuk-mabukan, tapi mengajak mereka dari jalanan untuk bekerja itu bukan hal yang mudah," ujarnya.

Lain halnya dengan Muhammad Taufik alias Mak. Seniman kerajinan tangan mengaku dirinya sebelumnya merupakan anak jalanan yang kadang mengamen dan kadang jualan koran.

"Banyak hal negatif di jalanan sampai akhirnya saya mengenal Alit dan bosan hidup di jalanan terus, lalu saya diajari membuat lampu kamar yang sekarang mampu ekspor dan memperkerjakan anak-anak jalanan dan putus sekolah," katanya.

Sementara itu, Puji Lestari alias Tari merupakan perancang busana yang alumni Unesa dan mampu mengajari anak-anak jalanan di Depok dan Surabaya hingga akhirnya ada yang membuka usaha sendiri.

"Yang jelas, mengajak anak jalanan untuk berusaha itu tidak mudah, karena mereka suka tawuran, bahkan ada yang minta izin saya untuk tawuran," katanya, tersenyum.

Lain lagi dengan Mohammad Eddy alias Bogel. "Saya hidup di kawasan orang yang suka pencak silat di Madiun, lalu saya memilih gulat, agar mengubah tawuran menjadi olahraga sungguhan," katanya.

Demikian halnya dengan Slamet Santoso alias Metty. "Saya dulunya atlet lompat jauh dan printer, tapi saya cedera dan pemerintah tidak memberi perhatian. Saya kecewa," katanya.

Namun, keputusan menjadi pelatih atletik justru menumbuhkan kembali semangat berolahraga dalam dirinya. "Saya justru bisa menyemangati anak didik saya untuk menjadi atlet yang smart agar tidak mengalami seperti saya," katanya.

Dalam diskusi kepahlawanan di Gedung Konjen AS di Surabaya itu sempat muncul wacana tentang perlunya perhatian negara kepada pejuang dan olahragawan seperti halnya bantuan rumah veteran pada era Soeharto serta perlunya wajib militer meski sebatas pilihan untuk menumbuhkan rasa cinta Tanah Air tanpa dipaksa.