Psikolog: masyarakat terlalu pemaaf soal kebakaran hutan-lahan
10 November 2015 18:54 WIB
ilustrasi Mensos Kunjungi Korban Asap Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa bercengkerama bersama anak-anak di Posko Evakuasi Korban Asap di Kota Pekanbaru, Riau, Sabtu (31/10). Mensos menyantuni empat keluarga korban yang menjadi korban asap, serta menyempatkan meninjau Posko Evakuasi Korban Asap di Kantor Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Riau. (ANTARA FOTO/FB Anggoro) ()
Jakarta (ANTARA News) - Psikolog Tika Bisono mengatakan masyarakat terlalu mudah memaafkan pihak-pihak yang terlibat membakar hutan dan lahan sehingga kasus pembakaran terus terjadi bahkan meningkat di tahun 2015.
"Sikap kita itu terlalu pemaaf. Asap berkurang karena hujan, suasana kondusif terus sudah," kata Tika saat ditemui usai menghadiri acara Pokja Nasional Dompet Dhuafa-Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia di Jakarta, Selasa.
Dia mencontohkan banyak masyarakat yang cenderung marah saat bencana kabut asap melanda. Tapi begitu bencana selesai merasa sudah selesai dengan kabut asap dan tidak ada upaya untuk mencegah agar pembakaran hutan dan lahan tidak terjadi lagi.
Di satu sisi, pemerintah dianggapnya belum bekerja maksimal dalam menangani bencana asap dan mencegahnya terjadi lagi di kemudian hari.
Bahkan, dia menyebut jika pemerintah dan masyarakat terkadang cenderung terlambat dalam mengantisipasi bencana asap.
"Begitu bencana terjadi, baru kita semua bergerak untuk menanganinya. Kita suka terlena dengan keadaan saat keadaan sudah aman. Ini yang perlu diperbaiki oleh kita semua," kata dia.
Tika mengharapkan pemerintah dan masyarakat agar lebih mengutamakan bencana asap tidak terjadi atau setidaknya berkurang. Bukan seperti selama ini yang cenderung menangani korban asap saja. Dengan kata lain, fokus setiap pihak lebih condong pada penanggulangan bencana atau bukan pada pencegahannya.
"Harus ada upaya preventif agar tidak terulang. Harus berkurang dan ini tidak bisa dilakukan secara instan. Justru bencana asap 2015 ini malah semakin parah dibanding kebakaran 17 tahun terakhir. Ini terparah dan jadi penanda bahwa memang bencana asap belum bisa dikurangi," katanya.
"Sikap kita itu terlalu pemaaf. Asap berkurang karena hujan, suasana kondusif terus sudah," kata Tika saat ditemui usai menghadiri acara Pokja Nasional Dompet Dhuafa-Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia di Jakarta, Selasa.
Dia mencontohkan banyak masyarakat yang cenderung marah saat bencana kabut asap melanda. Tapi begitu bencana selesai merasa sudah selesai dengan kabut asap dan tidak ada upaya untuk mencegah agar pembakaran hutan dan lahan tidak terjadi lagi.
Di satu sisi, pemerintah dianggapnya belum bekerja maksimal dalam menangani bencana asap dan mencegahnya terjadi lagi di kemudian hari.
Bahkan, dia menyebut jika pemerintah dan masyarakat terkadang cenderung terlambat dalam mengantisipasi bencana asap.
"Begitu bencana terjadi, baru kita semua bergerak untuk menanganinya. Kita suka terlena dengan keadaan saat keadaan sudah aman. Ini yang perlu diperbaiki oleh kita semua," kata dia.
Tika mengharapkan pemerintah dan masyarakat agar lebih mengutamakan bencana asap tidak terjadi atau setidaknya berkurang. Bukan seperti selama ini yang cenderung menangani korban asap saja. Dengan kata lain, fokus setiap pihak lebih condong pada penanggulangan bencana atau bukan pada pencegahannya.
"Harus ada upaya preventif agar tidak terulang. Harus berkurang dan ini tidak bisa dilakukan secara instan. Justru bencana asap 2015 ini malah semakin parah dibanding kebakaran 17 tahun terakhir. Ini terparah dan jadi penanda bahwa memang bencana asap belum bisa dikurangi," katanya.
Pewarta: Anom Prihantoro
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2015
Tags: