Perubahan iklim bisa dorong 100 juta orang ke kemiskinan
9 November 2015 11:40 WIB
Sebuah kanal irigasi terlihat di dekat Sungai Shiyang yang mengering di pinggiran Kota Minqun, Provinsi Gansu, Tiongkok, Rabu (18/9). Perubahan iklim membuat sumber-sumber air untuk mengairi sawah mengering, mendatangkan petaka bagi para petani. (REUTERS/Carlos Barria)
Washington (ANTARA News) - Perubahan iklim bisa mendorong 100 juta orang lagi ke kemiskinan parah pada 2030 jika dunia gagal melakukan tindakan, demikian peringatan dalam laporan Bank Dunia.
Laporan berjudul Shock Waves: Managing the Impacts of Climate Change on Poverty yang disiarkan Minggu (8/11) menyebutkan bahwa orang miskin sudah berisiko tinggi mengalami guncangan akibat perubahan iklim, termasuk kegagalan panen akibat menurunnya curah hujan, meningkatnya harga pangan setelah kejadian cuaca ekstrem, dan peningkatan kejadian penyakit setelah banjir dan gelombang panas.
Guncangan semacam itu dapat menghilangkan prestasi yang diperoleh dengan susah-payah, membuat orang-orang kembali ke kemiskinan, terutama di Afrika dan Asia Selatan, menurut laporan itu.
Menurut laporan, pertanian akan menjadi pendorong utama setiap peningkatan kemiskinan karena menurut studi percontohan perubahan iklim dapat mengakibatkan hilangnya hasil panen tak kurang dari lima persen sampai 2030 dan 30 persen hingga 2080.
Dampak kesehatan, termasuk kejadian malaria, diare dan hambatan pertumbuhan yang lebih tinggi, serta pengaruh temperatur tinggi pada produktifitas pekerja adalah pengendali paling kuat berikutnya.
Di Afrika, wilayah yang paling miskin di dunia, perubahan iklim bisa menyebabkan harga pangan naik setinggi 12 persen pada 2030 dan 70 persen sampai tahun 2080.
Menurut laporan itu dampaknya "melumpuhkan" bagi negara-negara Afrika, tempat konsumsi pangan rumah tangga paling miskin mencakup 60 persen dari seluruh pengeluaran.
Laporan yang disiarkan sebulan sebelum Konferensi Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa di Paris itu menyerukan upaya pembangunan yang meningkatkan ketahanan masyarakat miskin, seperti penguatan jaring keamanan sosial dan cakupan kesehatan universal bersama tindakan khusus guna membantu menghadapi perubahan iklim yang berubah, seperti peningkatan ketahanan pangan, sistem peringatan dini dan pengadaan tanaman yang tahan iklim.
Laporan tersebut juga menyerukan "dorongan sepenuh tenaga" guna mengurangi emisi gas rumah kaca tapi menyatakan upaya pengendalian semacam itu tak boleh membebani rakyat miskin.
Penghematan dari penghapusan subsidi bahan bakar fosil, misalnya, dapat diinvestasikan lagi ke skema bantuan guna membantu keluarga miskin membayar biaya bahan bakar yang makin tinggi.
"Perubahan iklim membuat orang paling miskin mengalami pukulan paling keras, dan tantangan kita sekarang ialah melindungi puluhan juta orang terjerumus ke dalam kemiskinan parah akibat perubahan iklim," kata Presiden Grup Bank Dunia Jim Yong Kim di dalam satu pernyataan.
"Laporan ini mengirim pesan jelas bahwa mengakhiri kemiskinan tidak akan mungkin dilakukan kecuali kita melakukan tindakan keras guna mengurangi ancaman perubahan iklim terhadap orang miskin dan secara dramatis mengurangi emisi yang berbahaya," katanya seperti dilansir kantor berita Xinhua.(Uu.C003)
Laporan berjudul Shock Waves: Managing the Impacts of Climate Change on Poverty yang disiarkan Minggu (8/11) menyebutkan bahwa orang miskin sudah berisiko tinggi mengalami guncangan akibat perubahan iklim, termasuk kegagalan panen akibat menurunnya curah hujan, meningkatnya harga pangan setelah kejadian cuaca ekstrem, dan peningkatan kejadian penyakit setelah banjir dan gelombang panas.
Guncangan semacam itu dapat menghilangkan prestasi yang diperoleh dengan susah-payah, membuat orang-orang kembali ke kemiskinan, terutama di Afrika dan Asia Selatan, menurut laporan itu.
Menurut laporan, pertanian akan menjadi pendorong utama setiap peningkatan kemiskinan karena menurut studi percontohan perubahan iklim dapat mengakibatkan hilangnya hasil panen tak kurang dari lima persen sampai 2030 dan 30 persen hingga 2080.
Dampak kesehatan, termasuk kejadian malaria, diare dan hambatan pertumbuhan yang lebih tinggi, serta pengaruh temperatur tinggi pada produktifitas pekerja adalah pengendali paling kuat berikutnya.
Di Afrika, wilayah yang paling miskin di dunia, perubahan iklim bisa menyebabkan harga pangan naik setinggi 12 persen pada 2030 dan 70 persen sampai tahun 2080.
Menurut laporan itu dampaknya "melumpuhkan" bagi negara-negara Afrika, tempat konsumsi pangan rumah tangga paling miskin mencakup 60 persen dari seluruh pengeluaran.
Laporan yang disiarkan sebulan sebelum Konferensi Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa di Paris itu menyerukan upaya pembangunan yang meningkatkan ketahanan masyarakat miskin, seperti penguatan jaring keamanan sosial dan cakupan kesehatan universal bersama tindakan khusus guna membantu menghadapi perubahan iklim yang berubah, seperti peningkatan ketahanan pangan, sistem peringatan dini dan pengadaan tanaman yang tahan iklim.
Laporan tersebut juga menyerukan "dorongan sepenuh tenaga" guna mengurangi emisi gas rumah kaca tapi menyatakan upaya pengendalian semacam itu tak boleh membebani rakyat miskin.
Penghematan dari penghapusan subsidi bahan bakar fosil, misalnya, dapat diinvestasikan lagi ke skema bantuan guna membantu keluarga miskin membayar biaya bahan bakar yang makin tinggi.
"Perubahan iklim membuat orang paling miskin mengalami pukulan paling keras, dan tantangan kita sekarang ialah melindungi puluhan juta orang terjerumus ke dalam kemiskinan parah akibat perubahan iklim," kata Presiden Grup Bank Dunia Jim Yong Kim di dalam satu pernyataan.
"Laporan ini mengirim pesan jelas bahwa mengakhiri kemiskinan tidak akan mungkin dilakukan kecuali kita melakukan tindakan keras guna mengurangi ancaman perubahan iklim terhadap orang miskin dan secara dramatis mengurangi emisi yang berbahaya," katanya seperti dilansir kantor berita Xinhua.(Uu.C003)
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2015
Tags: