Dia menilai SE Kepala Kepolisian Indonesia itu dapat diterima, selama tidak disalahgunakan sebagai alat politik penguasa dan tidak mengekang kebebasan mengemukan pendapat, termasuk mengritik pemerintah.
"Presiden, wakil presiden, para menteri dan pejabat tinggi lain tidak boleh menunggangi SE Kepala Kepolisian Indonesia itu untuk membungkam arus kritik dari masyarakat," katanya, di Jakarta, Kamis.
Sebelumnya, Kepala Kepolisian Indonesia, Jenderal Badrodin Haiti, mengeluarkan surat edaran bernomor SE/6/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian, pada 8 Oktober 2015.
Surat ini bertujuan menindak netizen yang mengutarakan kebencian hingga berpotensi menimbulkan konflik sosial.
Dalam surat edaran tersebut, penegakan hukum atas dugaan terjadinya tindak pidana ujaran kebencian dengan mengacu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Misalnya, hukuman empat tahun penjara bagi siapa saja yang menyatakan permusuhan di depan umum, sesuai Pasal 156 KUHP.
Sementara itu, setiap orang yang dengan sengaja menunjukkan kebencian atau rasa benci kepada orang lain berdasarkan diskriminasi ras dan etnis, akan dikenakan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau denda paling banyak Rp500 juta.
Hukuman ini diatur dalam Pasal 16 UU Nomor 40/2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.
Susatyo juga menyatakan, surat edaran itu berpotensi membangun rasa takut publik untuk mengritik pemerintah.
"SE Kapolri itu bisa saja dimaknai sebagai bentuk lain dari pendekatan keamanan untuk membungkam kebebasan masyarakat mengemukakan pendapatnya," katanya.
Dia mengatakan, bahkan ada asumsi SE Kepala Kepolisian Indonesia itu sebagai bentuk lain dari pasal mengenai larangan mengajukan kritik kepada presiden. Sejauh ini isu yang dikembangkan adalah menyebarkan kebencian pada aspek SARA belaka.
Menurut dia, agar SE itu tidak melumpuhkan prinsip demokrasi, sosialisasi SE itu harus intensif agar dipahami semua elemen masyarakat.
"Kapolri dan seluruh jajarannya harus memberi jaminan kepada publik bahwa SE itu tidak menyasar siapa pun yang mengritik pemerintah," ujarnya.
Anggota Komisi III DPR itu menilai sangat penting bagi Kepolisian Indonesia untuk membuat rumusan jelas dan tegas dalam membedakan makna kritik dengan fitnah, penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, memprovokasi, menghasut, dan penyebaran berita bohong.