Taipei, Taiwan (ANTARA News) - Presiden Taiwan, Ma Ying-jeou, akan bertemu timpalannya Presiden China, Xi Jinping, di Singapura pada Sabtu nanti. Ini akan menjadi pertemuan kedua pemimpin itu sejak perang saudara 1949.

Kedua presiden akan "bertukar pandangan mengenai masalah-masalah lintas selat, " kata juru bicara Ma, Charles Chen, Selasa (3/11). China daratan dengan Taiwan di Pulau Formosa dipisahkan Selat Formosa.

Tujuan dari kunjungan itu untuk memastikan lintas selat secara damai tetapi tidak akan ada penandatanganan perjanjian apa pun, katanya.

Pertemuan yang mengejutkan itu merupakan kelanjutan dari hubungan yang menghangat dengan Beijing sejak Ma, tokoh dari Partai Kuomintang yang bersahabat dengan China, naik ke puncak pimpinan pada 2008.

China masih memandang Taiwan sebagai bagian dari wilayahnya meskipun kedua wilayah itu telah menjalankan pemerintahan masing-masing sejak pemimpin nasionalis China, Chiang Kai-Shek, dan Kuomintang (KMT) terpaksa melarikan diri ke Taiwan setelah kalah dalam perang saudara melawan Mao Zedong dari Partai Komunis.

"Usul kunjungan Ma adalah untuk memastikan lintas selat secara damai dan menjaga status-quo Selat Taiwan," kata Chen.

"Tidak akan ada penandatanganan apa pun atau pernyataan bersama," katanya, tetapi Ma akan menggelar jumpa pers internasional, Kamis.

Belum ada tanggapan dari Beijing, namun Gedung Putih menyambut hangat pertemuan tersebut.

"Kami sangat menyambut langkah-langkah yang akan diambil kedua pihak mengenai Selat Taiwan dan mencoba meredakan ketegangan dan meningkatkan hubungan Lintas Selat," kata juru bicara Josh Earnest. "Kami akan melihat apa yang akan terjadi setelah pertemuan."

Pengumuman Selasa itu tidak disangka setelah harapan Ma untuk pertemuan dengan Xi terhalang meskipun hebungan membaik.

Ma semula berharap untuk bertemu dengan Xi di sela-sela kegiatan APEC di Beijing pada November tetapi ditampik oleh Beijing.

"Ini merupakan tonggak sejarah dalam hubungan lintas-selat," ujar Profesor Chao Chun-shan, pakar urusan daratan utama di Universitas Tamkang di Taipei.

"Pertemuan nanti diharapkan dapat membantu menstabilkan suasana di kawasan," katanya kepada harian Apple Daily.

Sejumlah anggota partai oposisi sebaliknya menyampaikan kekhawatiran atas pertemuan dan menyerukan aksi unjuk rasa di luar gedung parlemen pada Rabu.

Pada saat hubungan semakin menghangat di bawah kepemimpinan Ma, sentimen publik berbalik menentang hubungan yang lebih erat karena cemas akan pengaruh Beijing yang akan lebih besar.

Ma akan turun dari jabatan sebagai presiden tahun depan setelah menjalani dua kali masa jabatan dan partai oposisi utama Partai Demokratik Progresif/Democratic Pregressive Party (DPP) diperkirakan menang untuk memimpin Taiwan dalam pemilu Januari mendatang.

Juru bicara DPP mengatakan kepada media setempat bahwa partainya tidak akan memberi komentar hingga mendapat pengumuman yang lebih lengkap atas pertemuan tersebut.

KMT mengalami kekalahan besar yang pernah didapat dalam pemilihan di daerah tahun lalu akibat kebijakan hubungan erat dengan China.

Hubungan yang lebih erat dengan Beijing telah meningkatkan banyak perjanjian dagang dan pariwisata yang berkembang, tetapi banyak pemilih yang mengatakan bahwa para pengusahalah yang memetik banyak kmeuntungan dibandingkan dengan rakyat jelata.

Terjadi juga kecemasan akan pembatasan pada keterbukaan, seperti yang terlihat melalui pendudukan mahasiswa pada gedung parlemen tahun lalu sebagai aksi protes dan kemarahan terhadap kesepakatan perdagangan yang dilakukan secara rahasia.

Ma senantiasa membela kebijakan hubungan dekat dengan China yang disebut membawa stabilitas kawasan.